JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meluncurkan modul Naskah Kode Etik Politisi dan Panduan Kaderisasi dan Rekrutmen Partai Politik Ideal.
Kedua modul tersebut merupakan produk dari Politik Cerdas dan Berintegritas (PCB) yang merupakan hasil kerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, KPK tidak hanya bertugas untuk menindak pelaku korupsi.
KPK juga bertugas melakukan pencegahan, pemantauan, koordinasi supervisi, dan trigger mechanism.
"Kami harus bekerja sama dengan seluruh komponen bangsa dan paling strategis di antara semuanya itu adalah partai politik dan politisi. Kenapa strategis? Karena mereka adalah pemimpin baik di level kabupaten, provinsi dan pusat," kata Laode, di kawasan Kuningan, Jakarta, Kamis (24/11/2016).
Peneliti senior LIPI Syamsuddin Haris mengatakan, partai politik merupakan pilar utama sistem demokrasi di Indonesia.
Sebab, hampir semua penyelenggara berasal dari partai politik.
Menurut Syamsuddin, jika partai politik dan politisi memiliki etika dan kinerja yang buruk, maka akan berpengaruh pada tingkat kepercayaan publik.
Selain itu, masa depan Indonesia juga berada di tangan partai politik dan politisi.
"Masalah kinerja partai dan pemimpin belum baik. Bahkan sebagain besar pasien KPK itu politisi atau setidaknya pejabat publik atau yang berhubungan dengan partai," kata Syamsuddin.
Ia menyebutkan, kerangka etik perlu dimiliki oleh politisi agar menjadi panduan dalam bertingkah laku.
Tak hanya politisi, partai politik juga membutuhkan kerangka etik.
"Karena bagi kami bukan hanya personal tapi juga bisa untuk institusi. Katakanlah parpol lakukan kesalahan maka bisa dilikuidasi tidak bisa ikut pemilu. Itu semacam kode etiknya," ujar dia.
Syamsuddin mencontohkan, lembaga etik penyelenggara pemilu atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Konsep DKPP, kata dia, bisa diterapkan pada politisi dan partai.
Syamsuddin berpendapat, Mahkamah Etik bisa berada di internal dan eksternal partai.
Putusan lembaga etik bersifat mengikat agar tidak ada intervensi dari pengadilan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.