JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Monitoring, Evaluasi, dan Penguatan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandi mengatakan, wacana kembalinya Setya Novanto menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak terlepas dari upaya Presiden Joko Widodo untuk mengamankan kebijakan di parlemen.
Ronald memahami upaya politik tersebut. Namun, disisi lain, upaya itu mengandung risiko politik.
"Risiko politik yang berhadapan dengan situasi DPR yang masih bermasalah dari sisi kinerja dan kebijakan," kata Ronald di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Rabu (23/11/2016).
Ronald menuturkan, saat Novanto menjadi ketua DPR, terdapat kebijakan kontroversial seperti pembangunan gedung baru DPR. Menurut dia, tidak menutup kemungkinan kebijakan tersebut akan mencuat kembali.
"Usulan penggunaan paspor diplomatik bagi anggota DPR, cukup kuatnya implementasi dana aspirasi. Itu beberapa kebijakan yang beredar dalam masa kepemimpinan Novanto," ucap Ronald.
Ronald mengapresiasi kepemimpinan Ade Komarudin yang melakukan pengetatan studi banding saat membuat undang-undang.
Hingga kini, lanjut dia, panitia khusus rancangan Undang-Undang Antiterorisme belum melakukan studi banding.
"Ini kebijakan yang harapannya tidak hanya perseorangan tapi kelembagaan. Saya tidak tahu saat Novanto jadi ketua kembali," ujar Ronald.
Partai Golkar kembali mewacanakan akan mengembalikan kursi ketua DPR RI kepada Setya Novanto. Keputusan tersebut telah diputuskan pada rapat pleno DPP Partai Golkar.
(Baca juga: Keinginan Golkar Kembali Jadikan Novanto Ketua DPR Tak Lazim)
Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan, keputusan ini diambil dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi terkait kasus "Papa Minta Saham" yang menyeret nama Novanto.
Keputusan MK tersebut dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI yang tidak pernah menjatuhi hukuman untuk Novanto.
(Baca juga: Bagi Golkar, Setya Novanto Jadi Ketua DPR Lagi demi Kepentingan Partai)