JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas, Andalas Feri Amsari mengatakan, keinginan Golkar kembali menempatkan Setya Novanto sebagai Ketua Dewan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terlalu dipaksakan.
Hal itu dikatakannya di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Rabu (23/11/2016).
"Ini peristiwa aneh. Kenapa dipaksakan? Yang sudah menyatakan dirinya tidak sanggup dan mengundurkan diri, lalu meminta agar kembali, itu tidak lazim," kata Feri.
Menurut dia, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bisa dijadikan dasar Golkar mengembalikan posisi Setya.
Sebab, putusan MK tidak menyebutkan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Novanto.
MK menyatakan rekaman alat bukti yang sah hanya bisa dilakukan oleh penegak hukum melalui putusan MK Nomor 21/PUU-XIV/2016 terkait uji materi pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
(Baca: Golkar: Novanto Kembali Jadi Ketua DPR agar Masyarakat Tahu Dia Benar, Tidak Salah)
Uji materi tersebut diajukan oleh Novanto terkait kasus "Papa minta saham".
Meski Novanto mundur lebih dulu sebelum adanya ada putusan final Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dalam kasus itu, 15 dari 17 anggota menyatakan Novanto terbukti melakukan pelanggaran etik.
"Pilihan menggunakan putusan MK untuk bersihkan nama Novanto tidak tepat. Tidak ada hubungan putusan MK itu dengan ada atau tidaknya pelanggaran etik. MK putuskan penggunaan alat bukti, tidak disebutkan bahwa pelanggaran etik tidak dilakukan Novanto," ujar Feri.
Feri mengatakan, putusan MK berada di wilayah hukum, sedangkan putusan MKD berada di wilayah etik.
(Baca: Golkar "Incar" Kursi Ketua DPR untuk Setya Novanto, Ini Komentar Ade Komarudin)
Partai Golkar kembali mewacanakan akan mengembalikan kursi ketua DPR RI kepada Setya Novanto. Keputusan tersebut telah diputuskan pada rapat pleno DPP Partai Golkar.
Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan, keputusan ini diambil dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi terkait kasus "Papa Minta Saham" yang menyeret nama Novanto.
Keputusan MK tersebut dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI yang tidak pernah menjatuhi hukuman untuk Novanto.