JAKARTA, KOMPAS.com - Maarif Institute mengecam keras tindakan pelemparan bom molotov di Samarinda yang terjadi pada Minggu (13/11/2016).
Direktur program Maarif Institute Muhd Abdullah Darraz mengatakan, tindakan tersebut dilakukan oleh orang-orang biadab.
Sebab, atas nama apapun tindakan pelemparan bom itu tidak bisa dibenarkan.
"Terlebih korban adalah anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan oleh Negara," kata Darraz melalui keterangan tertulisnya, Senin (14/11/2016).
Darraz mengutip istilah Syafii Maarif, menyebut para pelaku merupakan orang-orang yang berpaham ideologi maut, tidak punya visi dan impian masa depan tentang Indonesia yang beragam.
Maarif Institute, kata Darraz, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui kepolisian mengusut tuntas motif dan pelaku pelemparan bom molotov tersebut.
“Jika memang ada dugaan jaringan kelompok teroris yang mendalangi kejadian ini, polisi harus mengejar dan membawanya ke pengadilan," kata dia.
Hal ini guna mengembalikan rasa aman serta jaminan keadilan pada masyarakat.
Menurut Darraz, ke depan, negara tidak boleh lengah atas ancaman teror semacam ini.
Ia meminta pemerintah bersikap tegas dan tidak memberikan ruang terhadap kelompok-kelompok yang ingin memporak-porandakan bangunan keindonesiaan.
Selain itu, lanjut dia, Maarif Institute mengimbau seluruh elemen masyarakat untuk tenang dan terus menyerukan penguatan rasa solidaritas kebangsaan dan kebhinekaan di Indonesia.
Hal ini untuk menghindari munculnya isu dan opini liar yang tujuannya memprovokasi dan memperkeruh suasana.
"Jalinan kelompok lintas iman di daerah mesti kembali dikuatkan, termasuk didalamnya adalah NU dan Muhammadiyah agar dapat mendorong kohesi antar masyarakat di akar rumput (lapisan bawah)," kata Darraz.
Ia menambahkan, Maarif Institute juga menyampaikan duka mendalam atas jatuhnya korban jiwa dalam peristiwa tersebut.
Sebelumnya, terjadi ledakan di depan Gereja Oikumene, Samarinda. Intan Olivia Marbun (3) meninggal dunia akibat ledakan itu.
Sedangkan Trinity Hutahaean (4) mengalami kritis dan dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah AW Syahranie.
Korban lainnya, yakni Alvaro Aurelius (4) dan Anita Kristobel (2), dirawat di Rumah Sakit IA Moies.
Pelaku pengeboman gereja di Samarinda, Juhanda (32), sebelumnya pernah mendekam di penjara atas upaya peledakan di Serpong, pada 2011 lalu.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan pada 2012, Juhanda divonis 3,5 tahun penjara. Kemudian, ia mendapatkan pembebasan bersyarat pada 2014. Dalam masa pembebasan bersyarat ini, Juhanda kembali melakukan aksinya di Samarinda.