JAKARTA, KOMPAS.com – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno mengatakan, konsolidasi politik yang dilakukan Presiden Joko Widodo kepada TNI-Polri jangan diartikan sebagai upaya dalam menghadapi tuntutan sejumlah organisasi kemasyarakatan pasca-unjuk rasa 4 November 2016.
Menurut Tedjo, kunjungan Presiden Jokowi ke markas TNI-Polri tidak bisa dipandang sebagai upaya penegasan kekuasaan.
Sebab, secara jelas konstitusi menyatakan bahwa institusi Polri dan TNI sebagai alat negara dalam menjaga keamanan, bukan sebagai alat melegitimasi kekuasaan.
"Jangan diartikan safari politik Presiden Jokowi kemarin sebagai upaya mendekati TNI-Polri dalam menghadapi tuntutan sejumlah ormas Islam. Jangan dipandang sebagai penegasan kekuasaan," kata Tedjo dalam diskusi di Jakarta, Minggu (13/11/2016).
Tedjo menuturkan, sebagai kepala negara, Presiden Jokowi memiliki kewenangan untuk mengimbau, melalui aparat keamanannya. Sehingga, setiap gerakan masyarakat yang muncul berjalan tertib dan aman.
Dia juga membantah anggapan jika langkah Presiden Jokowi tersebut merupakan upaya untuk membenturkan aparat TNI-Polri dengan masyarakat yang akan berunjuk rasa.
"Sebetulnya hal demikian ini sah-sah saja sebagai seorang kepala negara untuk meminta atau mengimbau agar gerakan-gerakan ini berjalan aman," ujar Tedjo.
"Presiden sebagai pemegang komando tertinggi. Saya rasa jangan mencurigai Presiden akan membenturkan TNI dengan rakyat. Tidak demikian," kata dia.
Sepekan belakangan ini, Presiden Joko Widodo sibuk melakukan konsolidasi.
Pasca-demo 4 November yang menuntut ketegasan dalam penanganan kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama, Jokowi berkomunikasi dengan organisasi kemasyarakatan Islam, ulama, para tokoh agama, hingga satuan-satuan di TNI dan Polri.
Pada 7 November 2016, mendadak, Presiden Jokowi menggelar apel militer di Kantor Mabes TNI Angkatan Darat, Jakarta Pusat.
Dua pesan dia sampaikan. Pertama, TNI jangan sampai mentolerir gerakan memecah belah dan mengadu domba bangsa dengan provokasi dan politisasi.
"Jangan ragu bertindak demi keutuhan NKRI kita," kata dia.
Kedua, Jokowi meminta TNI memperbaiki diri. TNI diminta memegang teguh kesatuan komando, memegang teguh Sapta Marga dan sumpah prajurit.
Kemudian pada 8 November 2016, Jokowi menyambangi Polri. Seusai sarapan nasi kotak dengan menu yang sama bersama 602 personel Polri, Presiden meminta Polri jangan kalah oleh kelompok-kelompok kecil yang ingin merusak keberagaman dan persatuan di Indonesia.
"Jangan ragu dalam bertindak untuk penegakkan hukum yang tegas. Tidak boleh institusi sebesar Polri, ragu, kalah apalagi, terhadap kelompok, organisasi atau tokoh siapapun," ujar Jokowi.
(Baca juga: Jokowi: Negara Harus Kuat, Tidak Boleh Polri Kalah dengan Kelompok Perusak!)
Selang satu hari, pada 10 November 2016, Presiden menyambangi Markas Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Cijantung.
Setelah sempat mendapatkan penjelasan soal betapa mematikannya senjata yang dimiliki Kopassus, Jokowi mengatakan bahwa Kopassus adalah pasukan cadangan yang dapat ia gerakkan sewaktu-waktu jika negara dinilai dalam kondisi darurat.
(Baca: Di Markas Kopassus, Jokowi Sebut Pasukan Cadangan Bisa Dia Kerahkan Saat Darurat)