JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kajian terhadap alih fungsi lahan di Indonesia. Hasil kajian menyimpulkan terdapat masalah dalam alih fungsi lahan pertanian.
Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan mengatakan, terjadi penyusutan lahan pertanian. Setiap tahun, kata dia, terjadi alih fungsi sawah sekitar 50-60 hektare.
"Itu ekuivalen dengan 300.000 ton beras. Sementara pemerintah ingin swasembada beras, ternyata lahan pertanian menyusut di berbagai daerah," kata Pahala di gedung KPK, Jakarta, Kamis (10/11/2016).
Menurut Pahala, dari hasil studi di lapangan, pemerintah daerah mendapatkan pendapat lebih besar bila lahan pertanian beralih fungsi.
Jika menjadi perumahan, lanjut dia, pemerintah daerah mendapatkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) lebih besar dan pendapatan dari izin konstruksi.
Pahala menuturkan, terdapat Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif PLP2B.
Dengan peraturan itu, Pahala berharap pemerintah dapat memberikan insentif agar alih fungsi lahan pertanian dapat dihentikan.
Menurut Pahala, jika ahli fungsi pertanian terjadi, maka dibutuhkan waktu sekitar 10 tahun agar lahan pertanian dapat difungsikan seperti semula.
"Alih kepemilikan boleh tapi alih fungsinya. Sekarang di undang-undang diatur kalau ada alih fungsi lahan maka tanahnya dibagi dua. Itu yang mekanismenya sangat lemah," ucap Pahala.
Pahala menyebutkan, terdapat 180 Kabupaten/Kota yang telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (L2PB). Seharusnya, lanjut dia, 350-400 kabupaten/kota memiliki perda tersebut.
"Kalau di-perda-kan jadi baku. Alih fungsi harus harus ada penggantinya," ucap Pahala.
Pahala berkeinginan agar Kementerian Dalam Negeri mendorong daerah untuk segera menyelesaikan Perda Tata Ruang. Sehingga, lanjut dia, akan terjadi kejelasan alih fungsi lahan untuk mendapatkan lahan sawah yang berkelanjutan.