JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil menilai, politisasi dan sentimen kebencian berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) harus dihindari.
Hal ini akan membuat pelaksanaan Pilkada memberikan efek edukatif bagi masyarakat.
"Politik elektoral harus dikedepankan secara edukatif dan konstruktif untuk mencapai tujuan politik yang luhur," kata Direktur Imparsial Al Araf di kantor Imparsial, Jakarta, Kamis (3/11/2016).
Al Araf mengatakan, intensitas penggunaan isu SARA semakin tinggi dalam Pilkada 2017, terutama Pilkada DKI Jakarta.
Perkembangan intensitas isu SARA, kata dia, memprihatinkan karena Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai kebhinekaan dan toleransi.
(Baca: Isu SARA Dinilai Lemahkan Demokrasi Indonesia)
Menurut Al Araf, menguatnya isu SARA menjelang Pilkada bukan hanya dinamika politik yang tidak konstruktif, tetapi juga sangat berbahaya bagi masyarakat.
Penggunaan dan penyebaran ujaran kebencian di ruang publik semakin memupuk benih intoleransi di masyarakat.
"Masyarakat didorong secara perlahan ke dalam sekat ikatan sosial primordial yang akan mengikis kebhinekaan. Padahal, kebhinekaan menjadi landasan fundamental bagi pendirian Indonesia," ujar Al Araf.
Al Araf berharap, elit politik dan elit publik dapat mengedepankan rasionalitas dalam menyeleksi calon pemimpin daerah.
(Baca: "Politisasi SARA, SBY Merendahkan Dirinya...")
"Integritas, gagasan, dan agenda (perbaikan daerah) yang harus didorong," kata dia.
Koalisi masyarakat sipil tersebut terdiri dari Imparsial, ELSAM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Setara Institute, Human Rights Working Group (HRWG), Indonesian Legal Roundtable (ILR), Lembaga Bantuan Hukum Pers, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.