JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani menilai isu suku agama ras dan antargolongan (SARA) masih digunakan sebagian kalangan untuk menjatuhkan pasangan calon di Pilkada 2017.
Dan penggunaan isu SARA bakal merampas rasionalitas pemilih.
"Provokasi dengan SARA sesungguhnya merampas rasionalitas yang merdeka dan independen," kata Ismail dalam suatu diskusi di kawasan Jagakarsa, Jakarta, Jumat (28/10/2016).
Ismail menuturkan, penyebaran isu SARA berdampak pada terbatasnya faktor yang jadi penilaian publik dalam memilih.
Pilihan tersebut, kata dia, hanya terbatas pada identitas calon pemimpin. Masyarakat, lanjut Ismail, menjadi tidak begitu peduli terhadap visi, misi, dan program kerja pasangan calon kepala daerah.
Akal sehat masyarakat, kata dia, seakan dibuat tidak bekerja.
"Biarkanlah akal sehat kita semua bekerja. Jangan sampai diracuni oleh konten kampanye dengan provokasi yang sempit," ucap Ismail.
Meski demikian, Ismail meyakini masyarakat Indonesia dapat memilih calon pemimpin yang berkualitas di tiap daerah.
Sebab, beberapa kelompok masyarakat telah menyatakan penolakan terhadap penggunaan isi SARA.
Sebelumnya, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad mengakui tantangan terberat dalam mengawasi kampanye Pilkada 2017 terletak di media sosial.
Menurut Muhammad, pengawasan kampanye di media sosial memerlukan energi yang lebih besar.
"Tantangan kami adalah kampanye di media sosial. Ini ruangnya menurut saya terlalu luas," kata Muhammad di kompleks Kemendagri, Jakarta, Kamis (27/10/2016).