JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan, salah satu kelemahan signifikan dari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah kemampuannya untuk memaknai mekanisme akuntabilitas dalam pengelolaan birokrasi.
Menurut Haris, kelemahan itu berdampak pada agenda pemajuan hukum dan hak asasi manusia (HAM).
"Presiden banyak mengaku keberhasilannya di sektor pembangunan infrastruktur termasuk kesehatan dan pendidikan. Namun, dia rapuh dan tidak memiliki ide ketika berhadapan dengan dinamika keamanan dan penegakan HAM," ujar Haris, di Kantor Kontras, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (20/10/2016).
(Baca: Penegakan HAM pada Era Jokowi-JK Nol Besar)
Haris menjelaskan, kelemahan pemerintah terlihat mencolok ketika Presiden Jokowi mulai mengangkat figur-figur yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM seperti Wiranto dan Ryamrizard Ryacudu.
Selain itu, Presiden Jokowi juga tidak memberikan pernyataan ketika Hartomo naik menjadi Kepala Badan Intelijen Strategis.
Berdasarkan catatan Kontras, Hartomo telah dipecat dari kemiliteran karena terlibat dalam kasus pembunuhan Theys Eluay.
"Pendek kata, sejak awal Presiden Widodo memang tidak berkeberatan untuk membangun kompromi dengan para pelaku pelanggaran HAM," kata Haris.
Menurut dia, sikap ini mengakibatkan akuntabilitas pemerintah tidak terbangun secara solid.
Presiden dinilai terjebak dalam lingkaran elite dan oligarki.
Haris menilai, jika kondisi seperti itu terus berlangsung maka upaya penegakan HAM tidak aka berjalan dengan baik.
Prediksi Haris, ke depannya, pemerintah akan lebih bersikap defensif dalam menerima kritik terkait HAM.
Oleh sebab itu, Haris berpendapat, Presiden Jokowi harus berani untuk membersihkan lingkungan sekitarnya dari orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas dalam penegakan HAM.
"Selama ini Presiden tidak menggunakan sistem koreksi kepada pejabat yang pernah melakukan kesalahan. Bersihkan dulu orang-orang yang tidak kapabel dan terbuka," kata dia.