JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto mengatakan, Bareskrim Polri akan mengambil alih kasus konflik antara kerajaan Gowa dan pemerintah daerah setempat.
Namun, polisi terlebih dahulu melakukan gelar perkara untuk mengumpulkan minimal dua alat bukti.
"Nanti tahapannya gelar perkara dulu. Pokoknya semua kasus ditangani," ujar Ari di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Jumat (30/9/2016).
Hal tersebut diputuskan setelah Raja ke-37 Gowa, Andi Maddusila beserta Badan Pengurus Silaturahmi Nasional Raja Sultan Nusantara Indonesia menemui Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Pol Syafruddin, Jumat siang.
(Baca: Raja Gowa Minta Konflik Kerajaan dan Pemerintah Gowa Ditangani Mabes Polri)
Ari mengatakan, Maddusila menyampaikan informasi bahwa sebelum terjadi pembakaran di DPRD Gowa, brankas di Kerajaan Gowa dibongkar.
Maddusila menuduh pelakunya adalah oknum pemerintah daerah, yakni Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo dan jajarannya. Dugaan tersebut bakal didalami Mabes Polri.
"Supaya tidak ada pemikiran negatif, dikabulkan. Ditangani Mabes semua kasusnya, rentetannya," kata Ari.
Setelah menemui Syafruddin, Raja Samu-samu, Upu Latu ML Benny Ahmad Samu Samu selaku juru bicara Badan Pengurus Silaturahmi Nasional Raja Sultan Nusantara Indonesia mengatakan bahwa pembongkaran brankas kerajaan Gowa dilakukan saat malam takbiran Idul Adha lalu.
Dalam rekaman CCTV, tertangkap para pelaku perampokan tersebut, yaitu oknum pemerintah daerah.
"Makanya saya kira proses hukumnya jadi Mabes yang tangani, karena banyak yang tersangkut pejabat di situ, mulai dari Bupati, Ketua DPRD," kata Benny.
Isi brankas tersebut antara lain emas murni peninggalan kerajaan dari masa ke masa. Brankasnya merupakan pemberian Ratu Wilhelmina tahun 1938.
Saat ditemukan, brankas tersebut sudah hancur dan kosong.
Benny mengatakan, konflik kedua kubu tersebut dipicu terbitnya peraturan daerah Lembaga Adat Daerah (LAD) yang mengatur bahwa bupati menggantikan kedudukan Raja Gowa, meski tak memiliki garis keturunan Raja Gowa.
Menurut dia, Raja Gowa tak bisa serta merta menerima peraturan tersebut.
"Beliau namanya bupati mau jadi raja di Gowa sementara tidak ada turunannya. Adat istiadat tidak terima itu," kata Benny.
Terlebih lagi yang melantik bupatinya adalah DPRD Gowa. Padahal, kata Benny, raja yang sesungguhnya dilantik oleh masyarakat adat.
"Semestinya sejak awal pembuatan perda, melibatkan pemangku adat juga, termasuk Raja Gowa," kata dia.
Konflik tersebut berujung pada pembakaran Gedung DPRD Gowa. (Baca: Pasukan Kerajaan Gowa Bakar Kantor DPRD)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.