JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai, pengabulan pemulihan nama baik politisi Golkar Setya Novanto oleh Mahkamah Kehormatan DPR lebih beraroma politis dibandingkan penegakan hukum dan etik DPR.
"Lebih kuat aroma politis dibandingkan akal sehat," kata Donal usai diskusi di Sekretariat ICW, Jakarta, Kamis (29/9/2016).
Menurut Donal, MKD seharusnya justru memproses banyaknya masalah etik di DPR dibandingkan memulihkan nama baik Setya.
Dengan memulihkan nama baik Setya, tambah Donal, MKD memperlihatkan bahwa lembaga etik tersebut hanya melindungi kesalahan anggota DPR.
"Kami melihat MKD justru menjadi lembaga kompromi melindungi dan mencuci kesalahan anggota DPR, bukan lembaga untuk menegakkan etik," ucap Donal.
Donal mengatakan, putusan MKD memulihkan nama baik Setya Novanto justru menyalahi aturan.
(baca: Menurut Fahri, Nama Setya Novanto Seharusnya Memang Direhabilitasi)
Pasalnya, putusan tersebut menyalahi aturan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) dan kode etik Dewan.
"Dia menabrak karena UU MD3 dan kode etik tidak ada peninjauan kembali merehabilitasi nama baik," kata Donal.
MKD sebelumnya mengabulkan permintaan pemulihan nama baik Setya Novanto. Surat MKD DPR terkait hal tersebut diteken oleh Ketua MKD DPR Sufmi Dasco Ahmad dan ditujukan kepada pimpinan DPR.
(baca: MKD Pulihkan Nama Baik Setya Novanto di Kasus "Papa Minta Saham")
Permintaan pemulihan nama baik sebelumnya diajukan oleh Fraksi Partai Golkar untuk Novanto yang saat itu menjabat Ketua Fraksi terkait kasus "Papa Minta Saham".
Karena tersangkut kasus tersebut, Novanto mengundurkan diri sebagai Ketua DPR dan dirinya dirotasi menjadi Ketua Fraksi.
Wakil Ketua MKD Sarifuddin Sudding menjelaskan, MKD telah melakukan rapat untuk menindaklanjuti permohonan Novanto untuk Peninjauan Kembali terhadap proses sidang yang dilakukan MKD terkait kasus "Papa Minta Saham".