JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta menolak tuntutan pencabutan hak politik terhadap terdakwa mantan anggota Komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putranti.
Hakim menilai, hak politik merupakan hak asasi manusia setiap warga negara yang tidak dapat dibatasi oleh siapapun.
Hal tersebut dikatakan anggota Majelis Hakim Sigit Herman Binaji, saat membacakan putusan terhadap Damayanti di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (26/9/2016).
Damayanti dinilai terbukti menerima suap Rp 8,1 miliar.
"HAM harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan karena alasan apapun, sehingga Majelis tidak sependapat dengan tuntutan Jaksa penuntut KPK," ujar hakim Sigit.
(Baca: Hakim Tetapkan Damayanti sebagai "Justice Collaborator")
Menurut hakim, dalam alam demokrasi, masyarakat Indonesia semakin cerdas dalam menggunakan hak pilihnya mengenai jabatan publik tertentu baik ekesekutif maupun legislatif.
Majelis berpendapat, dipilih atau tidak seseorang, harus diserahkan kepada masyarakat untuk menilai integritas dan kapasitas calon pejabat publik.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menggunakan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam UU tersebut, setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu, berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Selain itu, setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas.
(Baca: Damayanti Divonis 4,5 Tahun Penjara)
Adapun, pada ayat 3 Pasal 43, disebutkan bahwa setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Menurut Hakim, hukuman penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa sudah cukup untuk menjadi pelajaran berharga, sehingga ke depannya terdakwa tidak mengulangi perbuatannya.
Selain itu, hukuman penjara dinilai sudah bisa memberikan efek jera bagi yang lain agar tidak mencoba melakukan perbuatan yang sama.