JAKARTA, KOMPAS.com - Kinerja satuan tugas yang terdiri dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Bareskrim Polri dalam penanggulangan vaksin palsu diragukan sejumlah pihak.
Keluarga korban vaksin palsu masih mengalami kendala dalam menuntaskan permasalahan yang diakibatkan praktik tersebut.
"Kinerja satgas belum sepenuhnya hadir dan tanggap untuk menindaklanjuti persoalan penyelesaian vaksin palsu yang dialami keluarga," ujar Staf Divisi Advokasi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Kontras Rivanlee Anandar di Kantor LBH Jakarta, Kamis (22/9/2016).
(Baca: Menkes: 1.500 Anak Terkena Vaksin Palsu)
Menurut Rivanlee, ada dua hal yang membuat kinerja satgas diragukan, yakni lambannya respons terhadap korban dan tertutupnya proses penanganan vaksin palsu.
"Kondisi tersebut menimbulkan keraguan dan kegelisahan terkait kesungguhan pemerintah dalam menyelesaikan masalah vaksin," kata Rivanlee.
Selain itu, tambah Rivanlee, upaya penegakan hukum dalam kasus vaksin palsu juga belum menyentuh pertanggungjawaban negara.
Satgas cenderung mengkerdilkan kasus ini sebagai kejahatan antara produsen dan oknum dokter.
"Satgas belum berhasil mengungkap jalur peredaran vaksin tersebut secara menyeluruh serta keterlibatan berbagai aktor di balik bisnis vaksin yang terjadi sejak 2003," ucap Rivanlee.
Atas dasar itu, Kontras bersama Aliansi Orang Tua Korban Vaksin Palsu dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak pembuatan rekomendasi penyelesaian kasus ini dalam kerangka pelayanan publik.
(Baca: Kemenkes Didesak Berikan Sanksi terhadap RS Pengguna Vaksin Palsu)
Mereka juga meminta diberikannya akses keadilan bagi keluarga korban dan pemulihan yang efektif.
Serta, memastikan tunduknya pelaku bisnis kesehatan dan kelompok profesi dokter terhadap standar HAM dan pelayanan publik.
"Kami juga meminta satgas menyampaikan hasil temuan, kesimpulan, serta rekomendasi penanggulangan vaksin palsu kepada publik atas proses yang telah berjalan," kata Rivanlee.