Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyelesaian Kasus 1965 Dinilai Penuhi Syarat Gunakan Hukum Internasional

Kompas.com - 15/09/2016, 12:29 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Yayasan International People’s Tribunal tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Indonesia 1965 (IPT 1965) Nursjahbani Katjasungkana menyesalkan penolakan permohonan audiensi para korban kasus 1965 ke Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan.

Menurutnya penolakan tersebut menjadi tanda bahwa komunikasi dan dialog antara korban dan pemerintah untuk penyelesaian kasus 1965 sudah ditutup.

"Jadi posisi Pemerintah sudah jelas menolak permintaan audiensi baik ke Menko Polhukam, apalagi ke Presiden. Pintu komunikasi dan dialog dengan pemerintah sudah ditutup," ujar Nursyahbani saat dihubungi Kompas.com, Kamis (15/9/2016).

(Baca: Permohonan Audiensi Korban 1965 Ditolak, Wiranto Dinilai Kontradiktif)

Nursyahbani mengatakan, adanya penolakan audiensi bisa dijadikan sebagai bukti pelengkap adanya unsur ketidakmampuan dan ketidakinginan Pemerintah untuk menyelesaikan kasus 1965.

Dua unsur tersebut, kata Nursyahbani, memenuhi syarat penyelesaian kasus 1965 menggunakan instrumen hukum internasional.

"Itu melengkapi bukti bahwa Pemerintah unwilling dan unable untuk menyelesaikan masalah 1965 dan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Karena itu cukup kuat untuk menggunakan mekanisme hukum internasional," ungkap Nursyahbani.

Sebelumnya, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 Bejo Untung menilai pernyataan Menteri Koordinator bidang Hukum, Politik dan Keamanan Wiranto yang berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM 1965 bertentangan dengan fakta yang ada.

(Baca: Wiranto Berjanji Akan Tuntaskan Kasus Tragedi 1965)

Pasalnya, YPKP 1965 telah menerima surat penolakan permohonan audiensi dari para korban dengan Menko Polhukam pada Selasa (13/9/2016).

"Secara kebetulan Selasa kemarin saya baru menerima surat dari Kemenko Polhukam. Isi surat itu justru kontradiktif dengan pernyataan Wiranto. Intinya surat itu menolak permohonan audiensi yang kami ajukan," ujar Bejo saat dihubungi Kompas.com, Kamis (15/9/2016).

Bejo menuturkan, pada 8 Agustus 2016 YPKP 1965 mengirimkan surat permohonan audiensi ke Kemenko Polhukam.

Melalui surat tersebut, YPKP bermaksud untuk mempertanyakan seperti apa bentuk penyelesian kasus pelanggaran HAM 1965 yang akan diambil oleh Pemerintah.

Sebab, kata Bejo, sampai saat ini belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah terkait hasil rekomendasi Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 dari Perspektif Sejarah yang diadakan pada bulan April lalu oleh Wantimpres, Kemenko Polhukam, Lemhanas dan Komnas HAM.

Namun permohonan audiensi tersebut ditolak dengan alasan permasalahan yang disampaikan sudah pernah dibahas oleh Menko Polhukam dan belum ada tanda dari Pemerintah akan menyelesaikan kasus tersebut.

"Ada kalimat itu dalam surat yang saya terima," ungkap Bejo.

Dalam surat tersebut, lanjutnya, juga disampaikan bahwa pada 8 Agustus 2016, Menko Polhukam telah menyerahkan hasil rekomendasi penyelesaian kasus 1965 kepada Presiden Joko Widodo.

Dengan adanya fakta tersebut, Bejo menilai Pemerintah belum mengambil keputusan mengenai bentuk penyelesaian atas dugaan pelanggaran HAM pada kasus 1965.

"Saya masih mempertanyakan bentuk penyelesaiannya seperti apa, Wiranto hanya bilang akan saja tapi tidak menjelaskan bentuknya apa. Bentuk rekomendasi penyelesaian kasus 1965 harus diumumkan ke publik," tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Anak Buah SYL Disebut Temui Ahmad Ali saat Penyelidikan Kasus Kementan di KPK

Anak Buah SYL Disebut Temui Ahmad Ali saat Penyelidikan Kasus Kementan di KPK

Nasional
Halalbihalal Merawat Negeri

Halalbihalal Merawat Negeri

Nasional
Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Nasional
Kasasi KPK Dikabulkan, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Kasasi KPK Dikabulkan, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Nasional
Penetapan Presiden di KPU: Prabowo Mesra dengan Anies, Titiek Malu-malu Jadi Ibu Negara

Penetapan Presiden di KPU: Prabowo Mesra dengan Anies, Titiek Malu-malu Jadi Ibu Negara

Nasional
Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Nasional
Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com