JAKARTA, KOMPAS - Di usia Indonesia yang ke-71 tahun, penegakan hukum di negeri ini kian kusut. Kejaksaan dan Kepolisian Negara RI yang semestinya menjadi tulang punggung pemberantasan korupsi di Indonesia tidak menampakkan kinerja yang mumpuni.
Isu jual beli status justice collaborator di kedua lembaga penegak hukum tersebut terendus. Justice collaborator atau pelaku tindak pidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatannya menjadi salah satu syarat bagi terpidana guna memperoleh remisi atau pengurangan hukuman penjara dan pembebasan bersyarat.
Koruptor adalah salah satu narapidana yang harus mendapatkan status justice collaborator jika ingin mendapat remisi atau pembebasan bersyarat.
Merujuk data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kejaksaan menjadi instansi yang paling royal mengeluarkan status justice collaborator sepanjang periode 2013 hingga Juli 2016.
Ada 670 orang yang mendapat obral status justice collaborator dari Korps Adhyaksa. Sementara kepolisian hanya memberikan kepada 17 orang dan KPK memberikan kepada 1 orang.
Mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, status justice collaborator ditentukan saat penuntutan berdasarkan masukan penyidik pada tahap penyidikan dan disebutkan dalam tuntutan.
Status ini juga dapat dikeluarkan apabila pelaku kejahatan mengembalikan aset atau hasil tindak pidana yang ada pada dirinya.
Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah, kejaksaan hanya mengajukan status justice collaborator berpedoman pada SEMA tersebut. Penentu status itu dikabulkan atau tidak bergantung pada hakim dalam perkara tersebut.
"Ya, kami mengajukan karena apa yang dilakukan orang itu, kan, memudahkan pekerjaan kami. Tapi, terserah hakim penetapannya," katanya.
Dalam SEMA, syarat hakim memutus seseorang berhak menjadi justice collaborator hanya dengan mempertimbangkan rasa keadilan di tengah masyarakat dan berdasarkan berkas tuntutan jaksa yang menyatakan terdakwa telah memberi informasi dan bukti yang signifikan dalam mengungkap perkara.
Sayangnya, dalam temuan Ombudsman Republik Indonesia, status ini bukan sesuatu yang murah. Ada biaya yang dikenakan oleh lembaga penegak hukum terhadap orang yang bersedia menjadi justice collaborator. Narapidana diduga membayar kepada penegak hukum agar mendapatkan status justice collaborator.
"Biayanya tidak murah. Ini patut dipertanyakan, lari ke mana uang tersebut," kata anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu.
Membantah
Arminsyah membantah ada jual beli status justice collaborator. Ia menuturkan, status tersebut diberikan saat penyidikan atau ketika penuntutan.
"Dipahamilah, status justice collaborator tidak bisa diberikan saat orang sudah berstatus narapidana," ujarnya.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar juga membantah adanya praktik jual beli status justice collaborator di kepolisian. Ia mempersilakan pihak yang memiliki data adanya jual beli status tersebut agar menyampaikannya ke Polri.
"Kami justru mendukung hal ini untuk diperdalam dan disampaikan agar dapat dilacak adakah yang melanggar atau tidak," ucap Boy.
Dengan harta dan aset yang masih dimilikinya, sebenarnya tak sulit bagi koruptor kembali menyuap untuk mendapatkan status justice collaborator. Tinggal bagaimana penegak hukum menutup celah itu. (IAN)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 September 2016, di halaman 5 dengan judul "Mengobral Status "Justice Collaborator"".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.