JAKARTA, KOMPAS.com – Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman menilai masih terlalu dini untuk menerima usulan pemerintah terkait syarat pencalonan pemilihan presiden 2019.
Menurut dia, banyak pekerjaan rumah menanti untuk diselesaikan dalam hal menyusun regulasi yang akan digunakan pada pemilu legislatif dan pemilu presiden yang akan digelar serentak itu.
Beberapa pekerjaan rumah itu, kata dia, seperti apakah seluruh parpol dapat mengajukan calon presiden nantinya.
Jika ada partai politik yang baru mengikuti pemilu oada 2019, tentu mereka akan merasa didiskriminasi apabila "parliamentary threshold" atau ambang batas parlemen digunakan sebagai syarat untuk mengajukan capres.
Sebab, mereka belum memiliki kursi sama sekali di DPR.
"Ada yang berpendapat partai baru lima tahun lagi saja. Kalau begitu (yang boleh) partai lama saja," kata Sohibul di Kantor DPP PKS, Rabu (14/9/2016).
"Kemudian, apakah partai lama yang boleh ikut itu basisnya parliamentary threshold atau ada angka seperti yang lalu 15-20 persen? Nah ini masih menjadi perdebatan," ujarnya.
Persoalan lain yang tidak kalah penting yaitu ambang batas yang dapat digunakan parpol untuk mengajukan capres.
Jika mengacu pada hasil Pileg 2014, akan ada sepuluh pasangan capres dan cawapres yang akan maju. Sebab, saat ini ada sepuluh partai yang duduk di DPR.
"Kalau syaratnya pakai PT, yang 10 juga berhak mengajukan. Tapi masalahnya bagi demokrasi ini apakah efektif kalau calonnya sampai 10? Itu udah automatically pasti bisa dua putaran," kata dia.
Sementara itu, jika ambang batas parlemen dinaikkan, kata Sohibul, maka akan melahirkan sebuah koalisi. Dari segi kuantitas, jumlah pasangan capres akan menurun.
Kendati demikian, persoalan yang muncul justru partai mana yang lebih dominan dan layak untuk mengusung capres tersebut apabila nanti koalisi terbentuk.
Pemerintah sebelumnya mengusulkan hasil pemilihan legislatif 2014 digunakan untuk mengusung calon presiden pada pemilihan presiden 2019 mendatang.
Hasil Pileg 2014 digunakan karena pada 2019 pemilihan legislatif dan pemilihan presiden digelar serentak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, hasil pileg 2019 tidak bisa digunakan untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.