Pengganti kerusakan
Ahli ekonomika kriminalitas yang juga Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rimawan Pradiptyo merupakan pakar yang membantu KPK menghitung kerugian ekonomi korupsi dalam kajian biaya sosial korupsi.
Menurut Rimawan, sudah seyogianya biaya sosial korupsi dibebankan kepada terpidana sebagai pengganti kerusakan karena tindakannya.
Di beberapa negara maju, prinsip perhitungan biaya sosial tersebut sudah tecermin dalam putusan hakim.
Rimawan menuturkan, pembebanan biaya sosial korupsi bisa membuat orang yang rasional berpikir lebih jauh karena keuntungan dari korupsi akan jauh lebih rendah dibandingkan biaya sosial yang harus dibayarkan jika ia korupsi.
”Pertanyaannya sering kali kejam sekali hukuman (biaya sosial korupsi), tetapi apakah kita mau terus menyubsidi koruptor? Uang yang dikorupsi itu dari pajak,” katanya.
Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan siap menerapkan biaya sosial korupsi di kejaksaan apabila ada payung hukumnya.
Namun, ia mengusulkan penerapan hal itu disertai dengan aturan yang jelas dalam proses pembayaran atau cara eksekusinya.
Pasalnya, untuk uang pengganti saja, kejaksaan kerap kesulitan mengeksekusinya karena aset terpidana tidak cukup atau masih terlibat sengketa.
Piutang kejaksaan pun terus membengkak. Berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan, piutang uang pengganti kejaksaan saat ini mencapai Rp 15,7 triliun.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Ridwan Mansyur mengatakan, jika tujuan hukuman biaya sosial itu untuk memberikan efek jera kepada koruptor, MA pada dasarnya tidak keberatan hukuman itu diterapkan.
Ridwan menuturkan, MA bisa saja mengeluarkan Peraturan MA (Perma) untuk mengatur pidana baru tersebut dalam rangka pemberian efek jera untuk kasus korupsi karena Perma juga memiliki kekuatan mengikat di dalam sistem peradilan pidana.
”Syukur-syukur jika ketentuan soal hukuman biaya sosial itu diatur di dalam UU, daripada di dalam peraturan bersama di antara institusi penegak hukum, atau di dalam Perma. Sebab, UU sifatnya lebih kuat,” katanya.
Pakar hukum dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, mengusulkan, ”Jika memang berencana menggunakan konsep biaya sosial korupsi, sebaiknya dituangkan dalam revisi UU Tipikor.
Jadi, jika ingin melakukan perubahan terhadap UU itu, sebaiknya memang yang seperti ini sehingga pemberantasan korupsi berjalan optimal.”
Indriyanto juga berharap biaya sosial korupsi ini diimplementasikan sebagai social direct beneficiary (masyarakat sebagai penerima langsung manfaat) sehingga wujudnya dapat langsung dirasakan masyarakat. (GAL/IAN/REK/APA/AGE)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.