JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung HM Prasetyo memastikan pihaknya akan menaati putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Permohonan yang dikabulkan itu berkaitan dengan kasus pemufakatan jahat oleh Novanto, yang sebelumnya ditangani oleh Kejaksaan Agung.
"Masalahnya keputusan MK itu kan final dan mengikat," kata Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (9/9/2016).
Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian uji materi Pasal 5 Ayat 1 dan Ayat 2 serta Pasal 44 huruf b UU ITE yang mengatur soal penyadapan. (Baca: MK Terima Sebagian Gugatan UU ITE yang Diajukan Setya Novanto).
Majelis menyatakan, pemberlakuan penyadapan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu atas permintaan penegak hukum sebagaimana diatur dalam UU ITE.
MK juga mengabulkan sepenuhnya uji materi terkait Pasal 15 UU Tipikor yang mengatur pemufakatan jahat. MK menyatakan pasal tersebut multitafsir dan bertentangan dengan UUD 1945.
(Baca: MK Kabulkan Gugatan Setya Novanto Terkait Tafsir "Pemufakatan Jahat")
Jaksa Agung menyatakan, putusan MK tersebut harus ditaati oleh Kejagung. Namun hingga saat ini, kata dia, Kejagung belum menerima salinan putusan dari MK.
"Kita akan lihat dan pelajari dulu putusannya seperti apa," ucap Prasetyo.
Saat menjabat Ketua DPR pada akhir 2015 lalu, Novanto tersangkut masalah dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla terkait permintaan saham Freeport.
(baca: Syukur dan Janji Setya Novanto Setelah Gugatannya Dikabulkan MK)
Hal itu terungkap dalam rekaman percakapan antara Setya Novanto, Presiden Direktur PT Freeport ketika itu, Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha Muhammad Riza Chalid.
Pertemuan itu direkam oleh Maroef. Rekaman itu kemudian diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk kepentingan penyelidikan dugaan adanya permufakatan jahat.
Namun, pengusutan kasus tersebut tidak berjalan dengan alasan penyidik Kejaksaan tidak bisa meminta keterangan Riza.