JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam persidangan terhadap terdakwa pegawai Lippo Group Doddy Aryanto Supeno terungkap perkara lain yang diatur bersama-sama dengan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Perkara yang dimaksud terkait putusan pengadilan mengenai eksekusi lahan terhadap PT Jakarta Baru Cosmopolitan, salah satu perusahaan di bawah Lippo Group.
Perkara tersebut tercantum dalam surat dakwaan jaksa penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Doddy Aryanto Supeno. Surat tuntutan dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (31/8/2016).
"Bahwa pemberian pada 20 April 2016 sebesar Rp 50 juta, selain untuk pengajuan peninjauan kembali, juga diberikan untuk penundaan eksekusi atas tanah milik PT Jakarta Baru Cosmopolitan," ujar Jaksa Tito Jaelani di Pengadilan Tipikor.
(Baca: Pegawai Lippo Group Dituntut 5 Tahun Penjara oleh Jaksa KPK)
Berdasarkan putusan Raad Van Yustitie di Jakarta tanggal 12 Juli 1940 No 232/1937, pada November 2014 dan 16 Februari 2015, kuasa hukum ahli waris Tan Hok Tjian mengajukan surat ke PN Jakarta Pusat mengenai permohonan eksekusi putusan Raad Van Yustitie di Jakarta tanggal 12 Juli 1940 No 232/1937.
Pada bulan November 2015, Direktur PT Jakarta Baru Cosmopolitan Ervan Adi Nugroho memperoleh surat dari PN Jakarta Pusat perihal permohonan eksekusi lanjutan yang belum didistribusikan.
Atas surat tersebut, Ervan Adi Nugroho meminta kepada Wresti Kristian Hesti, pegawai bagian legal pada Lippo Group, untuk mempelajari surat tersebut dan menunda pelaksanaan putusan itu dengan meminta tolong kepada mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro.
Kemudian, Hesti mempelajari surat tersebut dan menyampaikan hasilnya kepada Eddy Sindoro dan Ervan Adi Nugroho.
(Baca: Nurhadi Akui Diminta Eddy Sindoro Urus Perkara Lippo Group)
Hesti menyampaikan bahwa pada kalimat akhir surat tersebut isinya harus disamakan dengan surat dari PN Jakarta Pusat yang terdahulu, yakni dengan mengubah kalimat dalam surat tersebut dari "belum dapat disekskusi" diganti dengan "tidak dapat dieksekusi".
Menindaklanjuti permintaan tersebut, Hesti selanjutnya menemui Edy Nasution dan menyampaikan permintaan Ervan Adi Nugroho untuk menunda pelaksanaan eksekusi putusan. Atas permintaan tersebut, Edy Nasution menyampaikan bahwa surat tersebut belum dikirim ke mana-mana.
Dalam kasus ini, Doddy Aryanto Supeno dinilai terbukti memberi suap sebesar Rp 150 juta kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
(Baca: Nurhadi Bantah Jadi Promotor untuk Pengurusan Perkara Lippo Group di MA)
Pada awalnya, uang suap sebesar Rp 150 juta tersebut diduga diberikan agar Edy Nasution selaku panitera menunda proses "aanmaning" atau peringatan eksekusi terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP), dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across Asia Limited (AAL).
Padahal, waktu pengajuan PK tersebut telah melewati batas yang ditetapkan undang-undang. Kedua perusahaan tersebut merupakan anak usaha Lippo Group.
Awalnya, Lippo Group menghadapi beberapa perkara hukum, sehingga Eddy Sindoro menugaskan Hesti untuk melakukan pendekatan dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara, termasuk Edy Nasution.
Eddy Sindoro juga menugaskan Doddy untuk melakukan penyerahan dokumen maupun uang kepada pihak-pihak lain yang terkait perkara.