JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Asrorun Niam meminta polisi tidak menjerat pelaku teror bom di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan dengan pidana yang sama sebagaimana diterapkan pada pelaku dewasa.
Pasalnya, pelaku yang berinisial IA ini belum genap berusia 18 tahun.
"Anak yang menjadi pelaku tindak pidana hak-hak dasarnya tetap ada sungguhpun tidak dalam kerangka membenarkan tindak pidananya. Tapi kalau anak pelakunya, butuh spesial treatment," ujar Asrorun di kompleks Mabes Polri, Selasa (30/8/2016).
(Baca: Pelaku Teror di Gereja Medan Tak Rencanakan Bom Bunuh Diri)
KPAI telah melakukan koordinasi dengan Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait penanganan kasus terorisme yang melibatkan anak.
Menurut Asrorun, banyak aspek yang menyebabkan anak nekat melakukan teror bom sebagaimana yang dilakukan IA.
Salah satunya karena pengaruh dari orang dewasa. Apalagi IA mengaku mengebom gereja karena tergiur janji uang Rp 10 juta.
"Kasus di Medan dan beberapa titik terorisme menyasar anak-anak, baik anak yang menjadi korban langsung maupun anak yang korban doktrinasi sehingga potensial menjadi pelaku," kata Asrorun.
Menurut Asrorun, selain jerat hukumnya disesuaikan dengan anak di bawah umur, IA juga harus dilindungi dari paparan idelogi yang menyimpang dari ajaran agama.
Dari perspektif Asrorun, IA dianggap sebagai korban doktrinasi. "Sehingga harus ada proses pencegahan agar anak yang terindikasi terpapar radikalisme itu, bisa diselamatkan, bisa dilindungi, bisa dipulihkan dengan cara melakukan proses pendidikan ulang," kata dia.
(Baca: "Jangan Kaitkan dengan SARA dan Mengunggah Foto Pelaku Teror di Medan")
IA melakukan teror bom di gereja di Medan pada Minggu (28/8/2016) pagi. Para saksi melihat dari tas punggung terdapat percikan api dan ledakan kecil.
IA berlari menghampiri Pastor Albert dan sempat melukai tangannya dengan senjata tajam. Beruntung IA langsung daimankan ke kantor polisi setempat.
Dalam pemeriksaan, IA mengaku disuruh orang tak dikenal untuk meneror gereja tersebut. Ia mengiming-imingi uang agar IA bersedia melakukannya.
Berbekal tayangan di televisi, IA pun merakit sendiri bom itu dan merencanakan penyerangan.
Atas perbuatannya, tersangka dikenakan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme serta Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api dan bahan peledak.