JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.
Desakan tersebut menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) terhadap UUD 1945 pada Selasa (23/8/2016).
Wakil Koordinator bidang Advokasi Kontras Yati Andriyani mengatakan, selama ini hasil penyelidikan Komnas HAM terkait sejumlah kasus pelanggaran berat HAM tidak diproses dalam tahap penyidikan oleh Kejaksaan Agung.
Kejaksaan Agung selalu melontarkan berbagai macam alasan, salah satunya pengadilan HAM adhoc sebagai landasan dalam melakukan penyidikan belum terbentuk.
Sementara itu, dalam UU Pengadilan HAM menyebutkan bahwa Presiden berwenang mengeluarkan Keppres untuk pembentukan pengadilan HAM adhoc.
DPR juga telah membuat rekomendasi terkait hal tersebut.
“Presiden tidak boleh lagi menghindar untuk membuat Keppres pengadilan HAM adhoc,” ujar Yati, saat ditemui di Kantor Kontras, Kramat, Jakarta Pusat, Rabu (24/8/2016).
Yati mengatakan, sesungguhnya penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM masa lalu sudah tidak berada di wilayah yuridis, melainkan pada kemauan politik dari pemerintah.
Hal tersebut juga tercantum dalam bagian pertimbangan putusan MK atas permohonan uji materiil UU Pengadilan HAM.
Dalam catatan Kontras, terdapat tujuh berkas pelanggaran HAM berat yang kasusnya berhenti di Kejaksaan Agung.
Menurut Yati, selama ini terjadi praktik bolak-balik berkas antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung mengakibatkan peniadaan hak konstitusi korban pelanggaran HAM.
Kejaksaan Agung, kata Yati, selalu mengemukakan alasan yang tidak konsisten saat mengembalikan berkas penyidikan ke Komnas HAM.
Dari beberapa kali pengembalian berkas, Kejaksaan Agung mempersoalkan belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc sebagai landasan dalam melakukan penyidikan dan sejumlah alasan formil lainnya, seperti tidak lengkapnya identitas.
"Dari 7 berkas kasus pelanggaran HAM berat, setidaknya ada 3 berkas kasus yang dibolak-balik, yaitu kerusuham Mei 1998, penghilangan paksa 1997/1998 dan Talangsari 1989," kata dia.
Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Divisi Pemantauan Anti Impunitas Kontras, Feri Kusuma.
Menurut Feri, Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc menjadi tolok ukur apakah Presiden Joko Widodo mau memenuhi janjinya.
Jika Presiden tidak segera menerbitkan Keppres, Feri menilai, negara sudah melakukan pelanggaran hak konstitusional korban karena tidak memberikan kepastian hukum.
“Tidak dibenarkan jika Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dibiarkan berdebat terus, sementara presiden tidak mengambil tindakan. Tindakan dan dukungan politik presiden tetap diperlukan,” kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.