JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Panitia Kerja RUU Pertembakauan Firman Soebagyo menilai ada kepentingan asing di balik wacana membuat harga rokok menjadi Rp 50.000 per bungkus. Menurut dia, sejumlah perusahaan asing berkepentingan untuk mematikan industri rokok di dalam negeri.
"Kalau industri rokok dimatikan dengan dalih tembakau memiliki kadar nikotin tinggi, akan diganti produk kimia oleh asing," kata Firman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (23/8/2016).
Produk kimia yang dimaksud Firman adalah jenis rokok elektrik yang saat ini sudah mulai dikonsumsi oleh sejumlah masyarakat.
Menurut Firman, sudah muncul anggapan bahwa rokok elektrik tidak berbahaya seperti rokok dengan tembakau. Padahal, rokok elektrik sebenarnya punya resiko yang lebih berbahaya.
"Hasil penelitian Kemenkes sendiri mengatakan itu resikonya lebih tinggi dari rokok biasa," ucap Firman.
(Baca: Kenaikan Harga Rokok hingga Rp 50.000 Per Bungkus Harus Dikaji Ulang, Apa Alasannya?)
Firman menambahkan, kecurigaannya soal ada kepentingan asing yang ingin mematikan industri rokok di Indonesia bukan tanpa alasan.
Ia mengaku sudah mendapat informasi bahwa sejumlah LSM hingga lembaga yang kerap berkampanye anti rokok mendapatkan dana bantuan dari asing. Salah satunya, Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Manusia Universitas Indonesia yang dipimpin Hasbullah Tabrany.
Lembaga yang membuat survei harga rokok Rp 50.000 itu, kata Firman, diketahui mendapatkan dana hibah dari Bloomberg Initiative, lembaga farmasi dari Amerika Serikat.
"Meski katanya hibah saya yakin no free lunch. Segala sesuatu tak mungkin diberi tanpa imbalan," ucap Politisi Golkar ini.