Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasionalisme Perlu Direaktualisasi

Kompas.com - 19/08/2016, 17:21 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Nasionalisme Indonesia perlu direaktualisasi agar bangsa Indonesia tidak menjadi mangsa dari kekuatan transnasional. Dalam konteks kekinian, nasionalisme perlu dimaknai dengan bagaimana mengisi kemerdekaan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing.

Syamsuddin Haris, peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kamis (18/8), di Jakarta, mengatakan, nasionalisme tidak bisa hanya dimaknai sempit dengan anti kolonial, anti asing, atau sekadar mencintai produk- produk dalam negeri.

”Dari segi pemerintahan dan negara, nasionalisme mengandung terselenggaranya tata kelola negara yang tidak hanya adil, demokratis, dan sejahtera, tetapi juga bersih dari korupsi,” kata Syamsuddin.

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arie Sudjito, menambahkan, diskursus di ruang publik mengenai isu-isu yang terkait erat dengan rasa nasionalisme menandakan bahwa nasionalisme masih berada dalam ingatan kolektif publik sekaligus dianggap masih relevan. Namun, harus ada tafsir baru atas nasionalisme agar bisa mencapai keseimbangan konteks kesejarahan dan tantangan kontemporer bangsa.

Menurut Arie, perubahan yang cepat perlu diikuti dengan tafsir ulang nasionalisme agar nasionalisme sebagai romantisisme sejarah dan tantangan kekinian bisa menjadi satu. Dalam konteks kekinian, nasionalisme perlu mengambil bentuk kebijakan konkret, misalnya melindungi sumber daya alam (SDA) dari kepentingan asing, sehingga bisa digunakan untuk keadilan ekonomi.

Konteks kekinian dari nasionalisme Indonesia, kata Arie, tidak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga bisa mengambil bentuk kultural dengan menjaga keberagaman. Untuk itu, perlu ada dialog antara generasi tua yang memiliki referensi atas sejarah masa lalu dan anak-anak muda yang tahu perkembangan dan perubahan dunia.

”Dengan begitu, generasi muda tidak hanya berkutat dengan masa kini dan serba instan. Sebaliknya, generasi tua juga jangan hanya larut dalam romantisisme tanpa tahu tantangan kekinian,” kata Arie.

Presiden ajak kembali

Saat beramah tamah dengan 476 warga teladan tingkat nasional dari berbagai bidang di Istana Negara, Presiden Joko Widodo mengajak para cerdik pandai untuk mengabdi kepada negara. Sumbangan pikiran dan tenaga para cerdik pandai diyakini mampu memajukan bangsa Indonesia.

Dari 476 warga teladan yang hadir terdapat anak-anak pemenang Olimpiade Sains Internasional dan para pemenang kompetisi tingkat internasional lainnya. ”Saya tidak mau mereka yang berprestasi di negara kita itu, karena tidak kita ambil, tidak kita manfaatkan, justru digunakan oleh negara lain,” tutur Presiden.

Pernyataan itu disampaikan karena Presiden Jokowi melihat banyak kaum cerdik pandai yang berasal dari Indonesia justru bekerja di luar negeri. ”Sekarang ini di Amerika, profesor kita ada 74 orang, semua pintar. Itu belum lagi yang di Jepang, Korea Selatan, Jerman, dan lainnya. Belum lagi doktor dan ratusan yang bekerja di luar negeri,” katanya.

Menurut Presiden Jokowi, pihaknya sudah meminta 24 orang dari 74 profesor asli Indonesia yang bekerja di Amerika untuk kembali. Mereka diminta untuk menyiapkan pendidikan vokasi di Papua, selain diminta membangun pusat riset padi di Merauke. Selain 24 profesor, Jokowi mengharapkan 50 profesor lainnya di Amerika turut memberikan kontribusi.

Jokowi mempertanyakan, mengapa para cerdik pandai itu lebih memilih bekerja di luar negeri daripada mengabdi di Tanah Air. Presiden menduga, kondisi itu terjadi karena negara kurang memberikan dukungan dan penghargaan yang layak bagi mereka. Padahal, bangsa Indonesia butuh pemikiran dan tenaga mereka. Apalagi, kompetisi di tingkat global kini sudah berjalan. Jika para cerdik pandai memilih bekerja di negeri sendiri, Jokowi yakin cita-cita Indonesia maju segera tercapai.

Menurut Ketua DPR Ade Komarudin, nasionalisme masa kini tak bisa lagi dimaknai sempit seperti saat masa perjuangan kemerdekaan dulu. Anak bangsa yang memiliki kompetensi dan bisa mengharumkan nama bangsa sepatutnya diberi apresiasi dan kesempatan luas untuk berkarya di dalam negeri.

”Terlalu sayang dampaknya bagi negeri ini apabila memiliki banyak orang hebat dan pintar, tetapi karena masalah nasionalisme dan status kewarganegaraan, tak bisa berkiprah dan berkarya untuk bangsa,” ujar Ade di Kompleks Parlemen, Senayan.

Akhir-akhir ini, wacana dan pemaknaan nasionalisme kembali menguat menyusul beberapa polemik terkait kewarganegaraan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar serta anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka Gloria Natapradja Hamel.

Arcandra, yang ditarik Presiden Jokowi dari AS untuk menjadi Menteri ESDM, akhirnya diberhentikan dengan hormat. Polemik muncul karena yang bersangkutan berstatus warga negara AS. Sementara Gloria, yang sempat tak boleh menjadi anggota Paskibraka karena masih memiliki paspor Perancis, akhirnya diizinkan bergabung dalam barisan Gordon di Istana Merdeka. (GAL/NTA/AGE)

 

Versi cetak artikel ini terbit di harian "Kompas" edisi 19 Agustus 2016, di halaman 1 dengan judul "Nasionalisme Perlu Direaktualisasi"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

TPN Ganjar-Mahfud Sebut 'Amicus Curiae' Bukan untuk Intervensi MK

TPN Ganjar-Mahfud Sebut "Amicus Curiae" Bukan untuk Intervensi MK

Nasional
Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Nasional
Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com