JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai buruknya tata kelola perencanaan Dewan Perwakilan Rakyat jadi penyakit laten.
"Pada awal tahun 2015, DPR telah menetapkan target 40 RUU prioritas untuk diselesaikan tapi hanya tiga yang akhirnya berhasil diselesaikan," kata Lucius di kantor Formappi, Jakarta, Senin (15/8/2016).
Sedangkan tahun ini, tambah Lucius, DPR menargetkan 50 RUU, sementara yang berhasil disahkan sampai akhir masa sidang V baru tujuh RUU.
"Target legislasi 2016 dapat diibaratkan sudah loyo, malah ditambah beban lagi. Mustahil target tersebut akan dapat dicapai," ucap Lucius.
Potensi Transaksional
Selain itu, Lucius menuturkan patut diduga adanya potensi transaksional dalam proses pembahasan rancangan undang-undang Pertembakauan dan Larangan Minuman Beralkohol.
Menurutnya, kedua RUU itu memiliki relasi dengan korporasi.
Lucius melanjutkan, DPR menyatakan RUU Pertembakauan mengangkat kesejahteraan petani tembakau. Namun, pada saat yang sama korporasi punya kepentingan untuk mempertahankan keuntungan.
Sementara RUU Larangan Minuman Beralkohol, menurut Lucius, larangan produksi akan menyulitkan pengusaha. Ini membuka peluang adanya transaksi antara pengusaha dan legislator. Lantaran pengusaha ingin jalannya dipermudah.
"Ketika korporasi diperberat melalui kehadiran RUU, maka mereka akan berjuang keras pun jika itu memaksa mereka menggunakan cara transaksional dengan legislator," ujar Lucius.
Lucius mengatakan mengajak masyarakat untuk waspada dengan segala potensi dalam proses pembahasan legislasi. Hal itu dirasa penting agar RUU tidak dibajak untuk kepentingan sekelompok orang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.