JAKARTA, KOMPAS.com - Alasan pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 sebagai solusi mengurangi kapasitas narapidana dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) dianggap sebagai kebijakan yang salah arah.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus A. T. Napitupulu menjelaskan bahwa masalah utama kepadatan lapas sulit dituntaskan dengan melakukan revisi PP No. 99/2012. Hal ini disebabkan suplai narapidana yang masuk ke dalam lapas setiap tahunnya lebih tinggi dibandingkan dengan yang mendapatkan remisi.
Berdasarkan data ICJR pada 2014, populasi penghuni lapas meledak dua kali lipat dari 71.500 menjadi 144 ribu pada tahun 2014 hingga 2011, padahal kapasitas penjara hanya bertambah kurang dari dua persen.
(Baca: Soal Wacana Permudah Remisi Koruptor, Wapres Minta Masyarakat Lihat dari Kacamata Kemanusiaan)
Pada bulan Juli 2015, menurut Sistem Database Pemasyarakatan (SDB) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), ada sejumlah 178.063 penghuni yang tersebar di 477 lapas. Angka ini belum termasuk jumlah tahanan kepolisian.
Padatnya kapasitas narapidana ini, menurut Erasmus, justru akan bertambah dengan ketentuan remisi sepertiga masa tahanan dalam revisi PP No. 99/2012.
"Kalau pakai PP No. 99/2012 yang belum direvisi saja, remisinya enam bulan. Dalam waktu enam bulan saja orang yang masuk ke dalam penjara itu totalnya bisa sampai 60.0. Kalau pakai ketentuan remisi yang baru, sepertiga masa tahanan, tambah susah," ujar Erasmus di Jakarta, Senin (15/8).
(Baca: Revisi PP Remisi Dianggap Jadi "Karpet Merah" Koruptor, Ini Penjelasan Menteri Yasonna)
Erasmus juga menjelaskan ada dua unsur yang menyebabkan tingginya penghuni lapas, yaitu unsur penahanan yang begitu besar dan tingginya pemidanaan yang berujung pada pemenjaraan.
Data dari MAPPI FH UI menunjukkan dari 563 undang-undang (UU) yang diproduksi pemerintah sejak 1998 hingga 2014, sebanyak 154 UU mencantumkan ketentuan pidana, 1601 perbuatan yang bisa dikategorikan tindak pidana, dan 716 perbuatan merupakan jenis tindak pidana baru.
"Yang menjadi catatan penting, dari 1601 tindak pidana, sebanyak 1424 atau 88,9 persen mencantumkan penjara sebagai sanksi," lanjut Erasmus.
Terkait kedua unsur tersebut, Erasmus menyebutkan Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) memegang peranan penting untuk menyelesaikan masalah padatnya lapas, bukan melalui revisi PP No. 99/2012.
"Bukan karena Kemenkumham yang mengelola lapas, namun jalan masuk terkait pemenjaraan dipegang Kemenkumham melalui kewenangan pembentukan dan rancangan uu yang memuat pidana," tandas Erasmus.