JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo mengklaim, jumlah titik api sepanjang tahun ini menurun jauh ketimbang 2015 dalam periode yang sama.
"Laporan yang saya terima sangat bagus, ada penurunan signifikan, 74 persen dibanding tahun lalu," ujar Jokowi saat memimpin rapat terbatas membahas kebakaran hutan dan lahan di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (12/8/2016).
Meski demikian, Jokowi mencatat masih ada 217 titik api yang harus diwaspadai hingga Agustus 2016. Jumlah tersebut tersebar di Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan.
(Baca: 13 Titik Api Terdeteksi di Riau)
"Saya kira mumpung baru segitu, agar bisa diselesaikan sebelum nantinya sudah ribuan penanganannya akan lebih sulit," ujar Jokowi.
Bulan Agustus, September hingga Oktober ini merupakan titik kritis yang harus diwaspadai oleh kementerian dan lembaga terkait serta pemerintah daerah.
Instruksi Jokowi masih sama saat menghadapi kebakaran hutan 2015 lalu. Seluruh unsur kementerian, lembaga dan masyarakat diharapkan mampu mencegah meluasnya kebakaran hutan dan lahan sedini mungkin.
"Ada reward dan punishment-nya. Saya enggak mau ulang apa punishment yang saya maksud," ujar Jokowi.
(Baca: Satelit Pantau 288 Titik Api di Sumatera dan Kalimantan)
Jokowi mengapresiasi kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama TNI, Polri dan unsur warga di beberapa provinsi yang sejak dini mencegah kebakaran hutan dan lahan.
"Saya melihat ada beberapa provinsi yang melibatkan masyarakat dalam patroli bersama, itu sangat bagus," ujar Jokowi.
Sebelumnya, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan bahwa tekad pemerintah untuk menekan kebakaran hutan dan lahan pada 2016 cukup berhasil.
Indikator ini terukur dari jumlah titik panas (hotspot), indeks standar pencemaran udara (ISPU), jarak pandang, kesiapan aparat dalam mencegah karhutla, dan aktivitas masyarakat.
"Sejak 1 Januari 2016 hingga 11 Agustus 2016, satelit Modis mendeteksi jumlah hotspot 10.174 di Indonesia," kata Sutopo melalui keterangan tertulisnya, Jumat (8/12/2016).
Sementara pada 2015, kata dia, Karhutla yang terjadi sangat luar biasa. Data satelit Modis mendeteksi 129.813 hotspot.
"Jarak pandang saat itu hanya 100 meter. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) mencapai lebih dari 2.000 psi atau sudah sangat berbahaya," kata dia.
Selain itu, hutan dan lahan yang terbakar seluas 2,61 hektar menyebabkan kerugian ekonomi mencapai Rp 221 triliun. Aktivitas pendidikan dan penerbangan juga ikut lumpuh selama 2-3 bulan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.