Oleh: Al Araf
Direktur Eksekutif Imparsial, Dosen Universitas Paramadina dan Al Azhar, Jakarta
Akhir-akhir ini perdebatan tentang perlunya pengaturan pelibatan militer dalam mengatasi ancaman terorisme melalui revisi Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kian menghangat.
Sebagian pandangan menilai bahwa pelibatan militer dalam mengatasi terorisme perlu diatur dalam revisi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU PTPT) dan sebagian lagi menilai bahwa pengaturan pelibatan militer dalam revisi UU tersebut tidak diperlukan.
Secara prinsip, di dalam kehidupan negara demokrasi, tugas dan fungsi utama militer sejatinya adalah dipersiapkan untuk perang. Militer direkrut, dididik, dilatih, dan dipersenjatai dengan fungsi utamanya adalah untuk menghadapi kemungkinan terjadinya ancaman militer dari negara lain.
Tujuan keberadaan militer di sejumlah negara di dunia adalah untuk melawan musuh dalam peperangan. Hal ini merupakan raison d'Être atau prinsip utama dari peran militer.(Samuel Huntington,"New Contingencies, Old Roles", Joint Forces Quarterly, 1993)
Dengan fungsi dan tujuan untuk menghadapi ancaman perang, maka tiap-tiap negara di dunia menyiapkan kapasitas dan kapabilitas militer yang kuat dan modern.
Di Indonesia, sejak era reformasi, pemerintah telah merancang dan merealisasikan agenda modernisasi alutsista melalui program Minimum Essential Force (MEF) yang sudah berjalan sejak 2010 dan rencananya berakhir pada 2024.
Konsekuensi dari pembangunan program MEF adalah dialokasikannya anggaran negara secara khusus dan bertahap (multiyears) untuk melakukan modernisasi alutsista.
Pada 2010-2014, anggaran untuk MEF dialokasikan Rp 156 triliun. Sementara untuk tahun 2015-2019 alokasi anggaran untuk program MEF direncanakan Rp 157 triliun.
Dengan anggaran yang sudah disiapkan tersebut, pemerintah melakukan belanja alutsista besar-besaran dari luar negeri ataupun dari dalam negeri meliputi pembelian kapal, pesawat, tank, helikopter, dan lainnya.
Tujuan utama belanja alutsista itu tentunya untuk memperkuat kapasitas pertahanan negara dalam kerangka menjaga kedaulatan negara dari kemungkinan adanya ancaman perang dari negara lain. Dalam situasi tertentu, alutsista ini dapat digunakan untuk operasi nonperang.
Dalam konteks itu, menjadi penting bagi otoritas sipil untuk terus menempatkan militer dalam fungsi dan tugas aslinya, yakni diperuntukkan dan dipersiapkan menghadapi kemungkinan terjadinya perang.
Meski diplomasi tetap pilihan utama dalam menghadapi ancaman tradisional, pada saat bersamaan kekuatan pertahanan tetap harus dibangun dan dipersiapkan untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk, termasuk perang.
Dengan demikian, pada masa damai, militer perlu dipersiapkan kemampuannya secara profesional dengan latihan, latihan, dan latihan.
Di sisi lain, untuk menopang profesionalismenya, negara wajib menjamin dan memenuhi kesejahteraan prajurit sehingga fokus dan kerja prajurit benar-benar untuk menjalankan fungsi utama sebagai alat pertahanan negara.