JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti hukum dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, penerapan hukuman mati tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik.
Menurut dia, setiap rezim pemerintahan di Indonesia menerapkan hukuman mati berdasarkan kepentingan politiknya sendiri.
Artinya Indonesia tidak memiliki standar hukum dalam menerapkan hukuman mati.
"Jadi memang pemerintah tidak punya standar yang jelas kenapa menerapkan eksekusi mati," ujar Erasmus, saat ditemui di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (31/7/2016).
Erasmus menjelaskan, kebijakan eksekusi mati pertama kali diterapkan bukan untuk kasus narkotika dan pembunuhan berencana.
Pada zaman Soekarno, hukuman mati diterapkan terhadap kejahatan yang mengancam negara, seperti misalnya subversif.
Hal tersebut berlanjut ketika Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Menurut dia, kebijakan hukuman mati diterapkan untuk menanamkan rasa takut terhadap masyarakat dan digunakan untuk meredam lawan politiknya.
Siapapun yang menentang kepemimpinan Soeharto saat itu bisa diancam hukuman mati dengan tuduhan subversif.
"Dulu eksekusi mati dipakai untuk kepentingan politik. Menghancurkan lawan politik. Di zaman Soeharto digunakan untuk menanamkan rasa takut," kata Erasmus.
Kemudian, pada tahun 1990-an, hukuman mati mulai diterapkan pada kasus-kasus narkotika.
Erasmus mengatakan, sebelum tahun 2015, eksekusi gencar dilakukan hanya untuk mengejar target Indonesia bebas narkotika.
Penerapan hukuman mati terkait kepentingan politik juga terlihat saat peristiwa bom Bali I dan II.
Saat itu, kata Erasmus, eksekusi mati terhadap pelaku pengeboman dilakukan begitu cepat karena adanya tekanan dari dunia internasional, mengingat peristiwa tersebut menelan korban warga negara asing yang cukup banyak.
Kasus lain yang dinilainya kental nuansa politisnya terjadi pada tahun 2006 ketika pemerintah mengeksekusi tiga terpidana mati pelaku kerusuhan Poso yaitu Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marianus Riwu.
Erasmus mengatakan sampai saat ini banyak kalangan menilai ketiga orang tersebut hanyalah pelaku di lapangan.
Pasalnya, tidak pernah terungkap siapa aktor intelektual di balik kerusuhan Poso.
"Hukuman mati ini jadi alatnya pemerintah untuk melanggengkan kepentingan politik," ujar dia.