Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ICJR Menilai Setiap Rezim Punya Kepentingan di Balik Penerapan Hukuman Mati

Kompas.com - 01/08/2016, 06:30 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti hukum dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, penerapan hukuman mati tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik.

Menurut dia, setiap rezim pemerintahan di Indonesia menerapkan hukuman mati berdasarkan kepentingan politiknya sendiri.

Artinya Indonesia tidak memiliki standar hukum dalam menerapkan hukuman mati.

"Jadi memang pemerintah tidak punya standar yang jelas kenapa menerapkan eksekusi mati," ujar Erasmus, saat ditemui di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (31/7/2016).

Erasmus menjelaskan, kebijakan eksekusi mati pertama kali diterapkan bukan untuk kasus narkotika dan pembunuhan berencana.

Pada zaman Soekarno, hukuman mati diterapkan terhadap kejahatan yang mengancam negara, seperti misalnya subversif.

Hal tersebut berlanjut ketika Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto.

Menurut dia, kebijakan hukuman mati diterapkan untuk menanamkan rasa takut terhadap masyarakat dan digunakan untuk meredam lawan politiknya.

Siapapun yang menentang kepemimpinan Soeharto saat itu bisa diancam hukuman mati dengan tuduhan subversif.

"Dulu eksekusi mati dipakai untuk kepentingan politik. Menghancurkan lawan politik. Di zaman Soeharto digunakan untuk menanamkan rasa takut," kata Erasmus.

Kemudian, pada tahun 1990-an, hukuman mati mulai diterapkan pada kasus-kasus narkotika.

Erasmus mengatakan, sebelum tahun 2015, eksekusi gencar dilakukan hanya untuk mengejar target Indonesia bebas narkotika.

Penerapan hukuman mati terkait kepentingan politik juga terlihat saat peristiwa bom Bali I dan II.

Saat itu, kata Erasmus, eksekusi mati terhadap pelaku pengeboman dilakukan begitu cepat karena adanya tekanan dari dunia internasional, mengingat peristiwa tersebut menelan korban warga negara asing yang cukup banyak.

Kasus lain yang dinilainya kental nuansa politisnya terjadi pada tahun 2006 ketika pemerintah mengeksekusi tiga terpidana mati pelaku kerusuhan Poso yaitu Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marianus Riwu.

Erasmus mengatakan sampai saat ini banyak kalangan menilai ketiga orang tersebut hanyalah pelaku di lapangan.

Pasalnya, tidak pernah terungkap siapa aktor intelektual di balik kerusuhan Poso.

"Hukuman mati ini jadi alatnya pemerintah untuk melanggengkan kepentingan politik," ujar dia.

Kompas TV Keluarga Berharap Merry Utami Segera Pulang
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Nasional
Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Nasional
TPN Ganjar-Mahfud Sebut 'Amicus Curiae' Bukan untuk Intervensi MK

TPN Ganjar-Mahfud Sebut "Amicus Curiae" Bukan untuk Intervensi MK

Nasional
Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Nasional
Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com