JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Dio Ashar menilai reformasi birokrasi di Kejaksaan Agung masih belum opimal.
Itu, kata dia disebabkan beberapa faktor. Salah satunya masalah promosi jabatan dan mutasi yang masih perlu diperbaiki.
"Peraturan Jaksa Agung mengamanatkan dalam mutasi harus berdasarkan kinerja jaksa. Tapi, belum dibentuk aturan penilaian kinerja," ujar Dio dalam diskusi di Sekretariat ICW, Jakarta, Minggu (24/7/2016).
Dio menilai, tidak adanya ada patokan dalam penilaian itu memunculkan adanya subjektifitas pimpinan dalam menaikkan jabatan atau memutasi jaksa tertentu.
Selama ini, kata Dio, promosi kerja hanya diatur berdasarkan prestasi. Namun prestasi yang dimaksud tak pernah ada tolok ukurnya.
"Sudah lima tahun peraturan terkait pengembangan karir berlaku, belum ada peraturan Jaksa Agung sehingga acuan prestasi dan penilaian kinerja menjadi kurang akuntabel," kata Dio.
Pantauan Mappi, kata Dio, banyak jaksa yang performanya bagus dalam sidang justru tidak mendapatkan promosi untuk dimutasi. Ia menduga para jaksa tersebut pun tidak mendapat insentif yang layak sehingga performanya kian turun.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Susanto Ginting menilai, masalah mutasi dan promosi jabatan menjadi tantangan internal yang harus dihadapi kejaksaan di usianya yang ke-56.
Buruknya sistem promosi dan mutasi di kejaksaan berdampak pada penanganan perkara. Misalnya, kata Miko, ada semacam desakan bagi jaksa untuk mengajukan banding dan kasasi jika vonis yang dijatuhkan pengadilan kurang dari 2/3 tuntutan.
Padahal, kasasi dan banding harus diajukan karena melihat adanya ketidakadilan hukum, bukan karena mengincar mutasi jika kasasinya dikabulkan. "Mereka selalu mengajukan upaya hukum karena dituntut melakukan itu. Kalau tidak, mereka akan kena penilaian kerja," kata Miko.