Teror yang berarti mencapai tujuan politik atau kekuasaan dengan menggunakan kekerasan sebagai alat utama menyertai perjalanan Republik Indonesia sejak kemerdekaan.
Pada fase awal kemerdekaan RI, dikenal masa Bersiap (Belanda: Wees Paarat) sejak Agustus hingga Desember 1945, teror menimpa orang Belanda, Indo-Eropa, dan kebangsaan Eropa lainnya yang berada di kamp tawanan Jepang.
Penulis Wenri Wanhar menggambarkan periode teror dan pembunuhan tersebut dalam buku Gedoran Depok yang menceritakan kekerasan terhadap orang-orang "Belanda Depok" yang dituduh menjadi kaki tangan Belanda.
Sebaliknya, pihak Belanda pun melakukan kekerasan balasan dengan aksi teror, seperti dilakukan serdadu KNIL di Batavia semasa Perang Kemerdekaan RI 1945-1949.
Mereka meneror kampung-kampung di seputar Jakarta yang masih mereka sebut Batavia. Para pejuang RI juga membalas di wilayah pendudukan, seperti di Karawang, dengan melakukan kekerasan berupa pembunuhan dan penyiksaan terhadap mereka yang diduga menjadi mata-mata atau kaki tangan Belanda.
Sejarawan Australia, Robert Cribb, menjelaskan dengan detail saling teror dua pihak tersebut dalam buku Gangster and Revolutionaries and Indonesia's Revolution.
Sejarawan Bonnie Triyana menuturkan, teror lanjutan yang terkenal dilakukan pihak Belanda adalah aksi Kapten Raymond "Turk" Westerling bersama pasukan khusus dari Depot Speciale Troepen di Sulawesi Selatan 1946-1947 dan juga pembantai APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung, Jawa Barat, Januari 1950.
Pemahaman keliru
Dia mengingatkan, konteks teror pada 1950-an berbeda dengan terorisme saat ini yang lebih banyak bicara pada pemahaman keliru dalam keagamaan dan sektarian.
"Kelompok komunis dan kiri melakukan teror kekerasan pada Peristiwa Tiga Daerah di Jawa Tengah, Revolusi Sosial Banten, dan Revolusi Sosial di Sumatera Timur. Kelompok kanan atau golongan agama juga melakukan kekerasan, seperti Darul Islam-Tentara Islam Indonesia (DI-TII) yang meneror penduduk di Priangan Selatan (Jawa Barat) dan Banten. Kelompok-kelompok militer pun waktu itu terlibat dalam afiliasi politik kiri dan kanan. Ditambah lagi kemampuan aparatur negara masih lemah," ujar Bonnie.
Teror juga dilakukan kelompok kiri dalam Revolusi Madiun 1948. Pihak lawan politik juga melakukan kontra teror sebagai pembalasan.
Bonnie menambahkan, Revolusi Sosial merupakan akumulasi kemarahan rakyat kecil terhadap kaum elite dan juga jaringan bisnis Tionghoa yang dianggap merupakan bagian dari rezim Hindia-Belanda dan semasa Jepang juga dinilai berkolaborasi dengan kekuasaan bersenjata.
Pada periode sama juga muncul rangkaian teror dan kekerasan dari kelompok kanan DI-TII. Masyarakat Sunda di Jawa Barat selama belasan tahun hidup dalam tekanan dan ketakutan akibat intimidasi dan pembunuhan.
Kekerasan pada awal kemerdekaan itu berakhir tahun 1962 dengan penangkapan dan eksekusi mati pemimpin DI-TII, SM Kartosuwirjo.