JAKARTA, KOMPAS.com - Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menilai, usulan agar TNI juga menindak kasus terorisme dalam Rancangan Undang-undang Antiterorisme dianggap sulit tercapai. Pasalnya, kata dia, pelatihan TNI dalam soal keamanan berbeda dengan Polri.
Menurut Tito, Polri sudah lama memiliki pelatihan khusus untuk memburu teroris.
"Kalau dia (TNI) mau kuat berarti kan mesti ada Laboratorium forensik, harus ada kemampuan identifikasi, DVI. Artinya harus dibangun lagi kemampuan seperti ini," ujar Tito di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (22/7/2016).
Selain itu, fungsi penyidikan kasus teroris hanya ada pada Polri. Memburu teroris pun, kata Tito, tetap harus mengedepankan hak asasi manusia. Tindakan keras seperti tembak mati hanya dilakukan jika dalam keadaan terpaksa lantaran sasaran melakukan perlawanan.
(Baca: Revisi UU Anti-Terorisme Ditargetkan Rampung Akhir Oktober)
Jika melanggar aturan tersebut, kata Tito, maka harus dipertanggungjawabkan sesuai undang-undang tentang HAM.
"Kalau doktrin dari teman-teman TNI umumnya yang saya pahami kill or to be killed," kata Tito.
Setelah itu, dilakukan olah tempat kejadian perkara dalam penangkapan teroris dan melibatkan tenaga teknis dari forensik untuk meneliti senjata yang digunakan teroris untuk melakukan penyerangan.
(Baca: BAIS Sebut TNI Perlu Dilibatkan secara Aktif dalam Berantas Terorisme)
Belum lagi soal penggeledahan, hanya polisi yang memiliki kewenangan dengan izin pengadilan.
"Itu semuanya terlatih dan biasa dilakukan oleh kepolisian," kata dia.
Lain halnya jika keterlibatan TNI untuk membantu polisi membekuk teroris, sebagaimana yang dilakukan dalam Operasi Tinombala. Operasi pengejaran kelompok pimpinan Santoso itu terdiri dari gabungan personil Polri dan TNI.
"Kalau dalam konteks penegakan hukum seperti kasus di Poso, fine. Karena semua langkah dan tata caranya sudah dilindungi oleh operasi penegakan hukum kepolisian," kata Tito.