JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menyambut baik putusan Mahkamah Agung yang menolak peninjauan kembali yang diajukan terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman.
Menurut dia, PK Freddy memang harus ditolak karena tak ada bukti baru yang meringankannya.
"Justru itu yang kami harapkan. Freddy apa bukti baru dia? Kecuali dia dari balik penjara masih mengendalikan peredaran dan menjadi bandar narkoba," ujar Prasetyo, di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (22/7/2016).
PK merupakan hak setiap terpidana untuk menyelamatkan diri dari vonis sebelumnya.
Seharusnya, kata Prasetyo, Freddy menyiapkan bukti yang menguatkan bahwa dirinya tidak layak diganjar vonis mati.
"Kalau itu diketahui sebelum putusan dijatuhkan, putusannya tidak akan berbunyi seperti itu," kata Prasetyo.
"Kalau MA betul sudah keluarkan putusan itu, Alhamdulillah. Masyarakat sudah menunggu sekali," lanjut dia.
Menurut Prasetyo, Freddy akan diikutkan dalam eksekusi mati gelombang III. Namun, hingga kini, belum ada kejelasan kapan eksekusi akan dilakukan.
Putusan penolakan MA Freddy Budiman tersebut dibacakan majelis hakim MA pada Rabu (20/7/2016).
Dalam putusan MA yang tertera dalam web kepaniteraan.mahkamahagung.go.id dinyatakan bahwa MA menerima pelimpahan pengajuan PK dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 13 Juli 2016.
Pengajuan PK didaftarkan oleh pengacara Freddy, Untung Sunaryo.
Sidang putusan ini disidangkan oleh hakim Andi Samsan Nganro, Salman Luthan, dan Syarifuddin. Dengan demikian, putusan ini menyatakan Freddy tetap divonis mati sebagaimana putusan pengadilan sebelumnya.
Freddy divonis mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 2012 karena "mengimpor" 1,4 juta butir ekstasi dari Tiongkok.
Freddy diduga masih mengatur peredaran narkotika dari balik jeruji. Saat ini, Freddy menghuni salah satu lembaga pemasyarakatan di Pulau Nusakambangan, Cilacap.
Sebelumnya, ia menjalani masa tahanan di Gunung Sindur, Bogor.