Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peristiwa 1965, IPT dan Respons Pemerintah

Kompas.com - 22/07/2016, 08:22 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS. com - Keputusan final majelis hakim International People's Tribunal (IPT) kasus 1965 menyebut ada 10 tindakan kejahatan kemanusiaan di Indonesia pasca-peristiwa 1 Oktober 1965.

Dari keputusan tersebut, majelis hakim menyatakan Indonesia bersalah dan harus bertanggung jawab atas kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Hakim Ketua, Zak Jacoob, menyatakan pemerintah Indonesia harus minta maaf kepada para korban, penyintas dan keluarga korban. Pemerintah juga didesak melakukan penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana tuntutan Komnas Perempuan Komnas HAM dalam laporannya.

(Baca: IPT Kasus 1965: Indonesia Bertanggung Jawab atas Beberapa Kejahatan Kemanusiaan)

"Indonesia harus bertanggung jawab atas tindakan dan perbuatan tidak manusiawi, khususnya yang dilakukan oleh pihak militer melalui sistem komando," kata majelis hakim seperti dikuti dari laman www.tribunal1965.org.

Majelis hakim menyatakan semua tindakan tidak manusiawi tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari serangan sistemik yang menyeluruh terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi-organisasi terkait, termasuk pemimpin, anggota, pendukung dan keluarga mereka. Bahkan mereka yang tidak memilliki hubungan dengan PKI.

Serangan ini berkembang luas menjadi sebuah tindakan pembersihan menyeluruh atas pendukung Presiden Sukarno dan anggota radikal Partai Nasional Indonesia. IPT kasus 1965 menyebut Negara Indonesia bertanggung jawab atas beberapa tindak kejahatan terhadap kemanusiaan melalui rantai komandonya.

Pertama, pembunuhan massal yang diprediksi menimbulkan 600 ribu korban. Kedua, penahanan dalam kondisi tak manusiawi, dimana jumlah korban diperkirakan mencapai ratusan ribu orang.

Ketiga, perbudakan orang-orang di kamp tahanan seperti di Pulau Buru. Selain itu terdapat juga bentuk penyiksaan, penghilangan paksa dan kekerasan seksual, propaganda, keterlibatan negara lain dan genosida.

Peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam berpendapat Pemerintah seharusnya mengakui bahwa peristiwa pembunuhan massal atau genosida pernah terjadi di periode 1965-1966 yang menyebabkan ratusan ribu hingga jutaan korban jiwa.

 

"Pemerintah seharusnya mengakui. Jumlah 400 ribu - 600 ribu korban jiwa yang disebutkan itu adalah angka yang cukup moderat berdasar fakta di persidangan," ujar Asvi saat dihubungi Kompas.com, Kamis (21/7/2016).

Menurut Asvi, angka tersebut merupakan titik tengah dari banyaknya informasi jumlah korban pembunuhan 1965 yang beredar.

Asvi mengatakan, sekitar tahun 1966, Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pernah mengeluarkan data jumlah korban kasus pembunuhan 1965 mencapai 1 juta orang.

(Peneliti LIPI: Pemerintah Seharusnya Malu dan Mengakui Genosida 1965)

Selain itu, kata Asvi, Presiden Soekarno pernah membentuk komisi pencari fakta (fact finding commission) kasus 1965 yang beranggotakan Menteri Negara Pembantu Presiden kabinet Soekarno Oei Tjoe Tat dan Chalid Marwadi dari Nahdlatul Ulama.

Halaman:


Terkini Lainnya

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Nasional
Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Nasional
Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Nasional
Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Nasional
FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

Nasional
Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com