Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peneliti LIPI: Pemerintah Seharusnya Malu dan Mengakui Genosida 1965

Kompas.com - 21/07/2016, 15:20 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, pemerintah seharusnya malu dan tidak bersikap resisten terhadap keputusan final International People's Tribunal (IPT) kasus 1965 yang menyatakan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh nNegara pasca peristiwa 1 Oktober 1965.

Menurut Asvi, keputusan tersebut tidak bisa dianggap angin lalu oleh pemerintah sebab kasus tersebut sudah menjadi perhatian dunia internasional.

"Pemerintah seharusnya malu dan segera mengakui bahwa memang benar telah terjadi genosida pada tahun 1965-1966," ujar Asvi, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (21/7/2016).

Asvi mengatakan, jika pemerintah benar-benar serius untuk menyelesaikan kasus 1965, maka keputusan, temuan, dan fakta-fakta selama persidangan bisa digunakan sebagai bahan penunjang upaya penyelesaian kasus di dalam negeri.

Pasalnya, kata Asvi, keputusan tersebut dikeluarkan oleh sebuah persidangan internasional dengan majelis hakim yang tidak bisa diragukan integritasnya.

Selain itu, Asvi menyebut bahwa majelis hakim IPT di Den Haag memiliki segudang pengalaman dalam memimpin sidang kasus pelanggaran HAM di Eropa dan Kamboja.

Keputusan yang dihasilkan juga berdasarkan keterangan saksi, ahli HAM, dan ribuan dokumen tentang pelanggaran HAM berat 1965.

"Keputusan itu berdasarkan satu persidangan internasional dengan majelis hakim yang tidak bisa disuap. Mereka berpengalaman di Kamboja dan Eropa. Mereka benar-benar meneliti dan mengkaji ribuan dokumen tentang pelanggaran HAM berat 1965," kata Asvi.

Sementara itu, Hakim Ketua IPT 1965, Zak Jacoob, menyatakan Pemerintah Indonesia harus minta maaf kepada para korban, penyintas dan keluarga korban.

Pemerintah juga didesak melakukan penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana tuntutan Komnas Perempuan Komnas HAM dalam laporannya.

"Indonesia harus bertanggung jawab atas tindakan dan perbuatan tidak manusiawi, khususnya yang dilakukan oleh pihak militer melalui sistem komando," kata majelis hakim seperti dikutip dari laman www.tribunal1965.org.

Majelis hakim menyatakan semua tindakan tidak manusiawi tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari serangan sistemik yang menyeluruh terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi-organisasi terkait, termasuk pemimpin, anggota, pendukung dan keluarga mereka.

Bahkan, mereka yang tidak memilliki hubungan dengan PKI.

Serangan ini berkembang luas menjadi sebuah tindakan pembersihan menyeluruh atas pendukung Presiden Soekarno dan anggota radikal Partai Nasional Indonesia.

IPT kasus 1965 menyebut Negara Indonesia bertanggung jawab atas beberapa tindak kejahatan terhadap kemanusiaan melalui rantai komandonya.

Pertama, pembunuhan massal yang diprediksi menimbulkan 600 ribu korban.

Kedua, penahanan dalam kondisi tak manusiawi, di mana jumlah korban diperkirakan mencapai ratusan ribu orang.

Ketiga, perbudakan orang-orang di kamp tahanan seperti di Pulau Buru.

Selain itu terdapat juga bentuk penyiksaan, penghilangan paksa dan kekerasan seksual, propaganda, keterlibatan negara lain dan genosida.

Kompas TV Kuburan Massal Korban 1965 Ada di Semarang
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Nasional
Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Nasional
Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Nasional
Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com