JAKARTA, KOMPAS.com - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama organisasi serikat buruh lainnya menuntut pemerintah menggelar operasi militer guna membebaskan warga negara Indonesia yang disandera kelompok bersenjata Abu Sayyaf di Filipina.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan pemerintah yang warga negaranya mengalami tindakan kriminal seperti penyanderaan, bisa mengambil jalan operasi militer. Tapi tetap harus mendapat izin dari pemerintah tujuan operasi militer.
Menurut Said, dalam konteks penyanderaan yang dilakukan Abu Sayyaf, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Filipina dan Malaysia untuk berpatroli bersama. Namun, kerja sama tersebut belum sampai pada tahap perjanjian tertulis.
(Baca: Jokowi Perintahkan Pembebasan Sandera Tak Pakai Uang Tebusan)
"Walau izin dari pemerintah Filipina belum masuk, karena ada kerjasama dan komitmen itu dibenarkan pintu masuk untuk melakukan operasi militer. Dalam keadaan force majeure (kejadian diluar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan), dimana kejadian perbuatan melawan hukum seperti penyanderaan yang berulang-ulang maka dia bisa dilakukan untuk melakukan operasi militer," kata Said di kantor LBH Jakarta, Rabu (13/7/2016).
Said mengatakan operasi militer pernah terjadi saat pembebasan warga negara indonesia yang disandera di Etiopia dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto.
"Itu sudah dilakukan waktu penyanderaan di Etiopia. ABK WNI disandera di Etiopia, pada waktu itu pemerintah Indonesia operasi militer pada zaman Soeharto. Tidak hanya force majeure, dia bekerja sama dan meminta izin pemerintah Etiopia," ucap Said.
Menurut Said, kedaulatan negara tidak hanya sebatas pada teritorial tapi juga termasuk penduduk. Artinya, bila penduduk diancam di negara lain, pemerintah Indonesia harus bertindak.
"Apakah kita menunggu seperti warga negara Kanada yang dipancung. Apakah pemerintah, panglima TNI, Menlu mau bertanggung jawab terdapat ABK yang dipancung. Ini pertanyaan yang harus dijawab karena kedaulatan di atas segalanya. ABK Tiongkok saja mencuri ikan, kita diserbu oleh angkatan laut Tiongkok sampai masuk ke perairan laut Indonesia," ujar Said.
Said yang juga menjadi anggota Govening Bodi ILO, untuk periode 2015–2017 menyebutkan kini ada konvensi Maritime Labour Convention yang telah berlaku sejak 20 Agustus 2013.
Konvensi itu merupakan salah satu instrumen untuk memberikan perlindungan dan kemudahan bagi pelaut dalam menjalankan profesinya.
(Baca: Operasi Militer Pembebasan Sandera Jangan Dipublikasi)
Seperti diketahui, tiga WNI disandera kelompok Abu Sayyaf ketika melewati perairan kawasan Felda Sahabat, Tungku, Lahad Datu Sabah, Negara Bagian Malaysia.
Mereka adalah ABK pukat tunda LD/114/5S milik Chia Tong Lim berbendera Malaysia.
Sebelum penyanderaan tiga WNI, tujuh anak buah kapal (ABK) WNI lebih dulu disandera kelompok Abu Sayyaf di perairan Sulu, Filipina Selatan.
Penyanderaan itu terjadi pada Senin (20/6/2016). Selain membajak kapal, penyandera meminta tebusan sebesar Rp 60 miliar.
Sebelumnya, 10 WNI ABK kapal tunda Brahma 12 disandera kelompok Abu Sayyaf dan dibebaskan pada awal Mei 2016.