JAKARTA, KOMPAS.com – Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, segala upaya pembebasan sandera yang ditawan kelompok bersenjata berisiko.
Namun, besar kecilnya risiko tersebut tergantung upaya yang dilakukan.
Menurut Kalla, pemerintah selama ini terlalu toleran atau permisif terhadap para penyandera.
Hal itu dilakukan karena pemerintah mengedepankan keselamatan warga negara yang disandera.
Oleh karena itu, upaya negosiasi juga dilakukan dengan cara multi-komunikasi.
“Semua berkomunikasi dengan segala macam. Ya, itu ternyata sama dengan teori pembajakan yang lain, kalau ditoleransi pembajakan itu akan menimbulkan pembajakan berikutnya. Kalau sama sekali tidak ada negosiasi, risikonya jiwa,” kata Kalla, di Istana Wakil Presiden, Selasa (12/7/2016).
Terakhir, tiga WNI yang berprofesi sebagai anak buah kapal diculik di perairan kawasan Felda Sahabat, Tungku, Lahad Datu Sabah, Negara Bagian Malaysia.
Ketiganya berada di kapal pukat tunda LD/114/5S milik Chia Tong Lim saat diculik oleh lima oranng bersenjata laras panjang yang menggunakan bahasa Sulu.
Sebelumnya, tujuh ABK tugboat Charles 001 disandera oleh keompok bersenjata di wilayah Perairan Sulu, Filipina Selatan.
Penyandera yang melancarkan aksinya pada 20 Juni lalu itu meminta tebusan sebesar Rp 60 miliar.
“Nah sekarang pilihannya apa? Jadi masyarakat harus tahu ini, tidak ada (upaya pembebasan) tanpa risiko,” ujar dia.
Kalla mengatakan, dalam setiap upaya pembebasan sandera, pemerintah tidak pernah membayar tebusan kepada para penyandera.
Namun, ia tak mengetahui, jika pada akhirnya pihak perusahaan tempat para ABK itu bekerja mengambil langkah lain.
Sebab, selain menjadi tugas negara, keselamatan para ABK juga menjadi kewajiban pihak perusahaan.
“Saya yakinkan 100 persen pemerintah tidak pernah bernegosiasi, berbicara tentang uang,” kata dia.
“Tapi demi keselamatan jiwa pegawainya, maka pengusaha-pengusaha itu ya bernegosiasi seperti itu. nah, akibatnya begini,” kata Kalla.