JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menyebut, peristiwa penyanderaan warga negara Indonesia di Filipina seharusnya tidak perlu terulang.
Sebab, Kementerian Perhubungan sudah mengeluarkan imbauan agar kapal-kapal dagang tidak melintas di perairan yang kerap dijadikan tempat beraksi kelompok bersenjata.
"Mereka (perusahaan) juga sebenarnya sudah tahu imbauan itu. Tapi tetap memaksa berangkat," ujar Harits melalui pesan singkat kepada Kompas.com, Selasa (28/6/2016).
(Baca: Cerita ABK TB Charles yang Selamat dari Sandera Kelompok Abu Sayyaf)
Hal itu lantaran perusahaan pemilik kapal telah meneken kontrak dagang. Mau tidak mau, mereka terpaksa melintas di sana dengan menempuh risiko. Harits menambahkan, kelengahan itu terjadi bersamaan dengan patroli kelompok bersenjata, Abu Sayaff.
Kapal berbendera Indonesia pun kembali menjadi 'santapan' kelompok tersebut. Di sisi lain, Harits juga berpendapat bahwa penyanderaan kali ini menggambarkan gagalnya pertemuan trilateral antara para Menteri Luar Negeri dan pimpinan tertinggi 3 negara: Indonesia, Filipina dan Malaysia.
"Pertemuan trilateral membahas keamanan laut, khususnya jalur pelayaran, belum ada implementasi yang signifikan," ujar Harits.
Meski demikian, Harits berharap pengalaman penyanderaan WNI sebelumnya memupuk kepercayaan diri Indonesia untuk kembali mengulang keberhasilan yang sama. Perencanaan pembebasan harus lebih rapi, terkoordinasi dan efektif.
Harits berharap penyanderaan tujuh WNI ini merupakan yang terakhir kalinya. "Ini harus menggugah pemerintah untuk maksimal hadir dan melindungi warganya baik di darat attau lautan dari setiap tindakan kriminal," ujar Harits.
(Baca: Enam ABK Tb Charles yang Tak Disandera Telah Kembali ke Keluarga)
Diberitakan, kapal berbendera Indonesia kembali dibajak oleh kelompok bersenjata di Laut Sulu, 20 Juni 2016. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu memastikan, kelompok itu adalah kelompok Abu Sayyaf. Selain membajak kapal, gerakan militan tersebut juga menyandera tujuh WNI dan meminta tebusan sebesar Rp 60 miliar.