JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid mengatakan, pemerintah harus segera mengimplementasikan joint declaration hasil pertemuan trilateral antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Kesepakatan tiga negara itu dibuat di Yogyakarta pada 5 Mei 2016.
Dalam perjanjian tersebut terdapat empat butir kesepakatan di antara ketiga negara dalam mengamankan kawasan perairan di perbatasan ketiga negara.
Meutya menyatakan, Pemerintah Indonesia bersama Pemerintah Malaysia dan Filipina perlu segera menyepakati standar operasi dan prosedur (SOP) kerja sama keamanan di kawasan tersebut.
Dengan demikian, jika terjadi keadaan bahaya, ketiga negara telah memiliki prosedur pengamanan yang jelas.
"Selama tiga bulan terakhir sudah lebih dari 40 orang warga Indonesia disandera oleh kelompok Abu Sayyaf di perairan Filipina. Ini tidak bisa ditolerir lagi," tulis Meutya dalam keterangan persnya, Jumat (24/6/2016).
"Saya meminta Kemenlu untuk menekan Pemerintah Filipina agar lebih serius menjaga wilayah perairannya," tutur politisi Partai Golkar itu.
Meutya menilai jika ini terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin kejadian yang sama kembali terjadi pada waktu yang akan datang.
Dia menambahkan, potensi ancaman penculikan, penyanderaan, dan perompakan oleh kelompok bersenjata di wilayah laut Indonesia, Malaysia, dan Filipina semakin tinggi.
Hal itu seiring dengan potensi ekonomi dan perdagangan yang besar di ketiga negara.
Dia juga mengatakan Pemerintah tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk membebaskan ketujuh sandera.
"Karena hal itu akan berdampak negatif nantinya bagi keamanan warga negara Indonesia (WNI) kita di luar negeri. Kebijakan luar negeri kita sudah jelas, perlindungan WNI menjadi prioritas utama," ujar Meutya.
Kemenlu dan aparat terkait seperti TNI dan BIN diminta segera berkoordinasi secara intensif untuk segera melepaskan WNI yang disandera.
Tujuh WNI yang disandera merupakan anak buah kapal (ABK) TB Charles 001 dan kapal tongkang Robi 152.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, informasi soal penyanderaan itu diterimanya pada Kamis (23/6/2016) kemarin.
Menurut Retno, penyanderaan tersebut terjadi di Laut Sulu, Filipina. Penyanderaan, lanjut dia, terjadi dalam dua waktu berbeda, pada 20 Juni 2016.