Bagi generasi muda saat ini, sosok Presiden Republik Indonesia ke-3 Prof. Dr. BJ Habibie lebih afdol jika dipanggil dengan sebutan Eyang Habibie.
Peringatan 80 Tahun Eyang Habibie pada 25 Juni ini memiliki makna yang istimewa. Karena selama ini Eyang Habibie telah melakukan transformasi diri dan terhadap bangsanya.
Tranformasi diri sejak berprofesi sebagai ahli teknik terkemuka di Jerman menjadi Menteri Riset dan Teknologi, lalu menjadi Presiden RI.
Untuk bangsanya, Eyang Habibie telah melakukan transformasi teknologi dan industri serta transformasi demokratik pada saat gerakan reformasi terjadi.
Film dan buku-buku yang mengisahkan perjalanan hidup Eyang Habibie menjadikan generasi muda menangkap kesan bahwa dirinya merupakan pemimpin yang sarat pengetahuan dan mampu merumuskan strategi pembangunan yang berdaya saing global.
Dalam lintasan abad, kita bisa menyimak sejarah perkembangan bangsa-bangsa di dunia. Perjalanan dari negara kurang maju sampai menjadi maju terlihat siklusnya semakin pendek.
Pada era peradaban Mesir kuno perlu beberapa ribu tahun, Peradaban Romawi dan Yunani dalam order kurang dari seribu tahun, Era Renaisance dan Peradaban Islam sepanjang 700-an tahun, Eropa kurang dari 400 tahun, Amerika Serikat perlu sekitar 200-an tahun, Jepang kurang dari 100 tahun, dan kejayaan Republik Rakyat Tiongkok bakal menjadi fenomena yang sangat menarik karena butuh waktu efektif kurang dari 50 tahun.
Sebenarnya, Eyang Habibie telah merumuskan siklus yang lebih pendek untuk menjadikan Indonesia tinggal landas menjadi negara maju dengan milestone atau langkah besar pembangunan yang lebih dikenal sebagai strategi transformasi teknologi dan industri menuju negara maju.
Langkah besar itu dicanangkan Eyang Habibie sejak dekade 70-an ketika baru dipanggil pulang dari Jerman. Sayangnya langkah besar tersebut terdistorsi oleh situasi politik sehingga tidak bisa dijalankan secara penuh.
Eyang Habibie menekankan perlunya langkah improvisasi dramatis atau dikenal dengan istilah lompatan katak. Saat ini rakyat membutuhkan kepemimpinan yang transformatif. Yakni kepemimpinan yang tidak sekedar kepemimpinan politik, tetapi juga kepemimpinan yang memiliki kapasitas, pembangkit kreativitas dan daya inovasi.
Kepemimpinan transformatif harus mampu mendefinisikan kembali orientasi dan strategi pembangunan agar sesuai dengan semangat jaman. Perlu strategi pembangunan yang progresif dan transformatif yang disebut dengan istilah leap frogging atau lompatan katak.
Istilah tersebut diadopsi oleh Eyang Habibie dari kondisi dua negara yang kalah perang, yakni Jerman dan Jepang. Setelah kalah perang ternyata dua negara tersebut mampu dengan cepat mengejar kemajuan teknologi dan industri lewat lompatan-lompatan yang sangat berarti.
Dalam hal daya saing SDM bangsa, pada awal 80-an Eyang Habibie telah memberikan perhatian besar terhadap pemberdayaan kapasitas otak manusia Indonesia.
Secara biologis otak manusia volumenya sekitar 1.200–1.500 centimeter kubik dengan berat otak rata-rata pada manusia dewasa adalah 1,4 kilogram. Ternyata otak manusia terdiri dari 100 miliar sel yang membentuk satu triliun sambungan berupa neurotransmiter atau kalau dalam bidang komputer setara dengan sepuluh pangkat sembilan Megabytes.
Berdikari