BOGOR, KOMPAS.com – Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono meminta Presiden Joko Widodo tegas dalam menyikapi berkembangnya isu gerakan komunis yang dapat berujung pada terjadinnya konflik horizontal.
Ia khawatir, jika konflik dengan latar belakang ideologi terjadi dapat menjadi sebuah malapetaka bagi Indonesia.
Ketika masih memimpin, SBY mengatakan dirinya telah berupaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, termasuk peristiwa pemberontakan PKI di tahun 1965.
“Setelah bekerja selama empat tahun, saya mengambil keputusan bahwa bangsa ini belum siap benar untuk menyelesaikan masa lalunya dengan baik,” kata SBY di kediamannya di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/6/2016).
(Baca: Simposium 1965 dan Anti-PKI, Jalan Berliku Menuju Rekonsiliasi)
Ia menjelaskan, jika rekonsiliasi dan kebenaran dijadikan model penyelesaian masalah, maka diperlukan kerangka pemikiran serta konsep yang dapat disepakati bersama oleh pihak yang pernah saling bermusuhan. Hal ini diperlukan untuk memastikan jika rekonsiliasi tersebut berjalan utuh.
“Saya nilai kesepakatan itu belum terwujud. Jadi kita belum siap. Kalau dipaksakan justru berbahaya,” kata dia.
Penggiringan opini
Saat ini, ia menambahkan, ada upaya untuk menggeser isu yang berkembang sebelumnya. Jika sebelumnya isu yang diangkat adalah rekonsiliasi, saat ini negara justru diminta minta maaf kepada PKI.
Ada upaya untuk menggiring opini jika masyarakat yang anti-PKI lah yang justru bersalah, dan PKI tidak.
“Di sini permasalahannya. Perebutan kekuasaan terhadap pemerintahan Presiden Soekarno yang sah dengan segala tindakan kekerasan yang menyertainya itu benar-benar ada. Keterlibatan PKI dan unsur lain itu juga nyata. Jadi bukan fiksi,” tegas Presiden RI keenam itu.
(Baca: Meski Muncul Pertentangan, Pemerintah Tetap Akan Tuntaskan Kasus 1965)
Bahkan, ia mengatakan, jika kudeta PKI saat itu berhasil, maka gerakan pembersihan dari Dewan Revolusi Daerah terhada mereka yang anti-PKI juga akan terjadi di seluruh wilayah. Namun, kudeta itu gagal, sehingga kelompok anti-PKI lah yang justru memegang inisiatif.
Lebih jauh, SBY meminta, agar seluruh keturunan yang masih hidup saat ini, dari pihak-pihak yang pernah melancarkan kudeta, diberikan hak yang sama oleh negara. Hak itu meliputi hak politik, dan hak ekonomi.
Sebelumnya, Panitia Pengarah Simposium Nasional Tragedi 1965 sekaligus Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Agus Widjojo telah menyerahkan rumusan tentang hasil Simposium Nasional Tragedi 1965 kepada Menko Polhukam, Luhut Panjaitan, untuk dikaji.
(Baca: Panglima TNI: Pemerintah Tak Akan Minta Maaf soal Tragedi 1965)
Kajian itu bermuara pada rekomendasi kepada Presiden sebagai bahan untuk menyelesaikan Peristiwa 1965 yang merupakan perkara pelanggaran HAM berat.
Luhut mengatakan, ada beberapa poin rekomendasi yang telah diusulkan tim perumus Simposium Tragedi 1965. Salah satunya, soal pernyataan penyesalan dari pemerintah. Tetapi, pemerintah masih mengkaji rumusan tersebut.