Pangkalan Angkatan Udara yang terletak di Cililitan aslinya adalah sebuah aerodrome yang diperuntukkan bagi keberadaan sebuah Angkatan Udara yang bertugas menjaga kedaulatan negara di udara.
Dengan menyandang status tersebut maka pada hakikatnya Pangkalan Udara Cililitan adalah sub sistem dari alat utama sistem senjata Angkatan Udara (alutsista AU).
Pangkalan Udara Cililitan juga merupakan bagian utuh dari sebuah sistem pertahanan udara nasional dan sekaligus menjadi bagian utama dari sistem pertahanan Nasional Republik Indonesia.
Pangkalan Udara Cililitan ini kemudian diberi nama Halim Perdanakusuma yang terutama sekali bertujuan untuk memberikan penghormatan bagi seorang pahlawan yang banyak berjasa dalam memelopori dan turut mendirikan Angkatan Udara di Indonesia.
Suatu penghargaan yang bertujuan pula agar dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda, penerus perjuangan bangsa Indonesia di bidang kedirgantaraan dalam tugas suci membangun sebuah “National Air Power” yang disegani pada tataran global.
Dalam gerak laju jalannya pembangunan nasional, sebuah aerodrome seperti Lanud Halim Perdanakusuma kemudian dilihat dari dua perspektif yang jauh berbeda.
Aerodrome itu utamanya berfungsi sebagai subsistem dari sistem pertahanan keamanan negara Republik Indonesia.
Namun, pada sisi lain, Halim juga dilihat sebagai sekedar sebuah fasilitas istimewa yang sudah tersedia dan siap pakai, yang sayang bila tidak dimanfaatkan untuk menangguk keuntungan finansial dalam konteks pengembangan penerbangan sipil komersial.
Berkembangnya pembangunan ibu kota Jakarta telah memberikan Halim lebih banyak lagi nilai tambah karena berada dalam posisi yang sangat strategis, terutama dalam aspek pertahanan keamanan negara.
Bersamaan dengan itu, nilainya juga meningkatkan dalam konteks penyelenggaraan penerbangan sipil komersial berkait dengan sistem transportasi udara nasional.
Sayang, dalam perkembangan, Halim lebih dan bahkan hanya dilihat memiliki nilai “komersial” dibanding dengan perjuangan panjang puluhan tahun bersusah payah bermandikan darah dan keringat dari para pejuang dirgantara.
Padahal, mereka mempertaruhkan nyawa untuk dapat menjadikan Halim sebagai garda terdepan dan tulang punggung dari sebuah bangunan penjaga martabat bangsa di wilayah udara kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada dua momentum yang semakin memantapkan persepsi Halim lebih kepada nilai “komersial” dibanding Halim yang berfungsi “hankamneg“.
Yang pertama adalah di tahun 1980-an saat Halim dipergunakan sebagai International Airport untuk sementara waktu dalam memberikan kesempatan selesainya pembangunan Soekarno Hatta International Airport (SHIA) di Cengkareng.
Berikutnya adalah saat kegagalan manajemen dari penyelenggara penerbangan sipil komersial dalam mengelola pertumbuhan penumpang di SHIA yang mencapai puncaknya di akhir tahun 2013.
Akibatnya di tahun 2014 terjadilah apa yang dikenal sebagai “optimalisasi pangkalan udara Halim Perdanakusuma” bagi penerbangan sipil komersial berjadwal di Indonesia.
Kedua momen ini telah “berhasil” menguatkan persepsi banyak orang untuk kemudian melihat Halim dari aspek komersial belaka.
Posisi dan kondisi Halim yang telah demikian berkembang itu, telah serta merta menempatkannya pada posisi yang sangat rawan dari persepektif pertahanan keamanan negara.
Yang sangat disesalkan adalah, karena hanya fokus melihat Halim memiliki nilai komersial belaka, maka ada dua hal yang sangat prinsip telah diabaikan.
Yang pertama adalah terabaikannya kepentingan latihan dan operasi penerbangan Angkatan Udara di Halim, serta –yang kedua-- faktor keselamatan penerbangan sipil komersial itu sendiri.
Kedua hal ini sangat jelas indikasinya di saat-saat awal Halim diperintahkan untuk membantu penyelenggara penerbangan sipil komersial akibat ketidakmampuan mengelola penerbangan di SHIA, yaitu memberikan ruang bagi “kelebihan traffic” nya di Halim pada awal tahun 2014 yang lalu.