JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) melihat ada perbedaan cara pandang dari aparat penegak hukum atas syarat dan standar dalam menentukan status seseorang sebagai pelapor tindak pidana alias justice collaborator (JC) dan saksi pelaku yang bekerjasama atau whisteblower.
Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Eddyono menyatakan, hal ini terlihat dalam pengadilan korupsi kasus penyuapan anggota Komisi V DPR RI. Hakim Pengadilan menolak terdakwa Abdul Khoir sebagai JC.
Hakim menyatakan bahwa Abdul Khoir tidak tepat diberikan status sebagai JC karena dia menjadi pelaku utama. Abdul Khoir akhirnya diberikan vonis yang lebih berat dari tuntutan Jaksa.
(baca: Hakim Tolak Status "Justice Collaburator" Penyuap Anggota Komisi V DPR)
Hakim menjatuhkan vonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta bagi Abdul Khoir. Adapun tuntutan jaksa KPK, yakni pidana 2,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
Ini kali keduanya Pengadilan Tipikor menolak status JC yang ditetapkan KPK. Sebelumnya, pada 2014, pengadilan juga menghukum Kosasin Abas lebih berat dari tuntutan Jaksa. (baca: Preseden Buruk Kasus Kosasih)
"Hal ini tentu menyulitkan proses pengungkapan tindak pidana khusus yang terorganisir seperti korupsi, narkotika, dan terorisme," kata Supriyadi dalam keterangan persnya, Jumat (10/6/2016).
"Jika hal ini kerap terjadi maka cita-cita Indonesia mengusung peran JC untuk berkolaborasi di pengadilan akan minim. Mereka calon JC berpotensi akan berpikir ulang untuk kolaborasi dengan penyidikan dan penuntutan," lanjut dia.
Padahal, dalam monitoring ICJR pada 2016, berdasarkan data JC di beberapa Institusi sampai saat ini masih menunjukkan bahwa instrumen JC diharapkan oleh para pelaku yang berniat membantu aparat penegak hukum.
Berdasarkan data KPK, pada 2016 ada 21 permohonan tersangka korupsi yang meminta status JC kepada KPK.
Dari 21 permohonan, ada 2 kasus yang diterima sebagai JC dan 10 yang ditolak karena tidak memenuhi syarat dan 9 permohonan masih diproses.
Sedangkan menurut data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sampai dengan 2016 ada 8 kasus dimana tersangka atau terdakwa telah mendapatkan status JC dari LPSK dan dalam perlindungan LPSK.
ICJR melihat hal itu disebabkan cara pandang dari aparat penegak hukum atas syarat dan standar dalam berbagai regulasi yang tersedia dalam menetapkan status seseorang, terutama sebagai JC.
Hal itu terlihat dari perbedaan antara SEMA No 4 tahun 2011 tentang Whistleblower dan Justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu dengan UU No 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam UU No 31 tahun 2014, definisi JC adalah terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.
"Karena itu pasal ini harus menjadi rujukan baru bagi peraturan lainnya. SEMA atau kesepakatan bersama Apgakum harus direvisi berdasarkan UU yang baru tersebut," lanjut Supriyadi.
Supriyadi menambahkan, jika tidak, kasus-kasus tindak pidana korupsi kelas berat, pembongkaran bandar narkoba maupun kejahatan terorisme yang dilakukan secara terorganisir, dipastikan akan mengalami kesulitan.