JAKARTA, KOMPAS.com - Pengacara Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir, Khaerudin Masaro, menolak pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, yang menilai kliennya sebagai pelaku utama.
Masaro akan mempertimbangkan untuk mengajukan banding atas putusan hakim yang dinilai memberatkan.
Abdul Khoir merupakan terdakwa kasus dugaan suap sejumlah anggota Komisi V DPR, yakni kepada Damayanti Wisnu Putranti (PDI-P) sebesar 328.000 dollar Singapura dan 72.727 dollar AS, kepada Budi Supriyanto (Golkar) sebesar 404.000 dollar Singapura.
(Baca: Jadi "Justice Collaborator", Penyuap Anggota DPR Berharap Pengampunan Hakim)
"Menurut saya, banyak yang bertentangan dalam putusan ini," ujar Masaro saat ditemui di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/6/2016).
Menurut Masaro, orang yang berperan aktif dalam mengatur aliran dana bagi anggota Komisi V DPR adalah Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional IX Maluku dan Maluku Utara Amran HI Mustary.
Dalam fakta persidangan, menurut dia, Amran terbukti berusaha mencari pengusaha yang akan diajak bekerja sama menyuap anggota DPR.
Selain itu, menurut Masaro, Abdul Khoir merupakan pengusaha ketiga yang akhirnya bertemu dengan Amran.
Menurut dia, ada dua pengusaha lain yang lebih dulu berkomunikasi dengan Amran, dan memperkenalkan Abdul Khoir dengan Amran.
Masaro justru mempertanyakan pengusaha lain yang lebih dulu berkenalan dengan Amran, tetapi belum dijadikan tersangka.
"Abdul Khoir disebut berusaha mendekati, padahal apa yang mendekati, orang dia yang ditelepon, ini kan fakta persidangan," kata Masaro.
Ia menilai hakim tidak memiliki pandangan yang sama dengan Jaksa Penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah memberikan status justice collabolator, atau saksi pelaku yang bekerja sama.
Majelis Hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta mengesampingkan penetapan status justice collabolator terhadap Abdul Khoir dan menjatuhkan vonis lebih berat daripada tuntutan jaksa.
Hakim menjatuhkan vonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta bagi Abdul Khoir.
Vonis tersebut lebih berat dari tuntutan Jaksa berupa hukuman 2,5 tahun penjara.
Dalam salah satu pertimbangannya, Hakim berpendapat bahwa penetapan status justice colabolator yang ditandatangani pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tertanggal 16 Mei 2016, tidak tepat.
Sebab, Abdul Khoir berperan sebagai pelaku utama dalam kasus yang didakwakan kepadanya.
Majelis Hakim menilai Abdul Khoir lebih berperan aktif dalam menggerakan para pengusaha lainnya untuk memberi suap kepada pejabat di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan sejumlah anggota Komisi V DPR.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.