JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pasal dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dievaluasi. Beberapa di antaranya bahkan harus dihapuskan karena berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
Direktur Imparsial Al Araf menjabarkan ada enam pasal kontroversial yang patut dikaji ulang itu.
Pertama, pasal 43b mengenai pelibatan militer dalam penanggulangan terorisme. Menurut dia, aturan tersebut bertimpangan dengan Pasal 7 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Sehingga tidak perlu lagi diatur dengan UU Terorisme," kata Al Araf di sela rapat dengar pendapat Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (9/6/2016).
(Baca: Ada Dewan Pengawas untuk Densus di RUU Terorisme, Apa Komentar Polri?)
Kedua, pasal 31 tentang mekanisme penyadapan perlu ditinjau ulang agar penyadapan menggunakan izin Pengadilan Negeri.
Ketiga, Pasal 13a terkait penebaran kebencian. Agar tak membatasi kebebasan berekspresi, kata Al Araf, perlu diatur secara lebih ketat dengan menganut prinsip-prinsip pada Pasal 20 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.
Keempat, Pasal 43a yang kerap disebut sebagai "pasal Guantanamo", lebih baik dihapus. Pasal itu berbunyi "Dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap Setiap Orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan".
(Baca: Pasal “Guantanamo” di RUU Antiterorisme Penuh Kontroversi)
Kelima, Pasal 12b ayat (5) yang menyebutkan bahwa selain pidana tambahan seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya, warga negara Indonesia yang merupakan pelaku Tindak Pidana Terorisme dapat dicabut kewarganegaraannya oleh pejabat yang berwenang.
"Itu isu kompleks. Seorang WNI akan berpotensi stateless. Jika dia terlibat kejahatan, siapa negara yang memproses hukumnya?" kata Al Araf.
Pasal berikutnya adalah Pasal 25 yang mengatur tentang perpanjangan masa penangkapan dan penahanan. Jika mau diberlakukan, lanjut dia, maka perlu ada mekanisme check and balance.
(Baca: Dikritik, RUU Anti-Terorisme Sama Sekali Tak Atur Hak Korban)
"Kalau di beberapa negara ada hakim komisaris untuk menilai apakah ini perlu apa tidak. Kalau di Indonesia sebaiknya evaluasinya oleh Komnas HAM, DPR dan pemerintah setiap tahunnya," tutup Al Araf.
Pansus RUU Terorisme kembali mengundang sejumlah perwakilan lembaga untuk meminta masukan terkait penyusunan dan perumusan RUU Terorisme. Selain Imparsial, turut hadir perwakilan dari Komnas HAM, Setara Institute, Tim Pembela Muslim, PBNU, dan Pusat HAM Islam Indonesia (Pushami).