JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Solidaritas Perempuan Nisa Yura mengungkapkan, kekerasan yang dialami perempuan dan anak-anak saat peristiwa pengusiran ratusan warga eks Gerakan Fajar Nusantara Gafatar (Gafatar) dari Mempawah, Kalimantan Barat, karena adanya stigma dan diskriminasi.
Menurut catatan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, setidaknya perempuan dan anak-anak yang terstigma eks Gafatar mengalami kekerasan dalam lima fase.
Kelima fase itu yakni sebelum pengusiran, saat pengusiran atau evakuasi paksa, saat di penampungan di Kalimantan, proses pemulangan ke Jawa, saat penampungan di daerah asal, dan saat pemulangan ke daerah asal.
Nisa mengatakan, dalam setiap konflik, perempuan dan anak-anak akan selalu menjadi kelompok yang terdampak kekerasan. Namun, sayangnya, negara tidak mengantisipasi dan cenderung melakukan pembiaran atas tindak kekerasan yang terjadi.
(Baca: Bupati Mempawah Menangis Saksikan Permukiman Eks Gafatar Dibakar)
"Belakangan ini warga Indonesia banyak mengalami hal yang tidak manusiawi. Berdasarkan pengalaman di berbagai konflik, perempuan dan anak adalah kelompok yang mengalami kekerasan," ujar Nisa saat memberikan keterangan pers di kantor LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Rabu (8/6/2016).
Pembiaran oleh negara tersebut, kata Nisa, terlihat dari berbagai pengakuan yang dialami korban.
Saat pengusiran, terjadi perusakan dan pembakaran atas aset warga eks Gafatar. Meski ada aparat yang berjaga, tetapi tidak ada upaya untuk mencegah dan justru warga eks Gafatar yang harus mengungsi dari rumahnya sendiri.
Kemudian, lanjut Nisa, hak perempuan dalam hal kesehatan reproduksi pun tidak diberikan. Menurut pengakuan beberapa korban, saat di pengungsian, mereka tidak disediakan kebutuhan pribadi seperti pembalut.
(Baca: 700 Orang Eks Gafatar Diminta Segera Tinggalkan Mempawah)
"Kita bisa lihat apa yang terjadi. Tidak ada kebutuhan yang disediakan. Pembalut tidak disediakan, padahal kesehatan reproduksi harus dijamin. Ini tanggung jawab negara karena terjadi di pengungsian," ungkapnya.
Warga eks Gafatar mengalami trauma akibat peristiwa pengusiran itu. Tak hanya itu, perempuan yang mengalami kekerasan juga tercerabut dari sumber penghidupannya. Hak milik atas tanah banyak yang tidak diganti. Beberapa aset seperti mobil dan motor tidak bisa dibawa ke daerah asalnya.
"Kemudian mereka mengalami pemiskinan. Mereka tercerabut dari sumber kehidupannya. Padahal, mereka bertani di Kalimantan," kata Nisa.
"Selain itu, negara telah melakukan pembiaran. Seharusnya ada proses yang adil pasca-evakuasi paksa. Ini jelas ada kekerasan, tapi negara diam saja," ujar dia.