Oleh: Bahrul Ilmi Yakup
Riak pertarungan politik kian berkembang, bahkan memanas, menjelang batas usia pensiun Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti. Sesuai ketentuan Pasal 30 Ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI (UU Kepolisian RI), ia akan memasuki usia pensiun pada 24 Juli 2016.
Paralel dengan itu, secara keliru khalayak umum memahami bahwa Presiden harus mengangkat personelbaru untuk mengisi jabatan Kapolri.
Padahal, kalau diperiksa secara teliti, rezim hukum Indonesia tentang kepolisian—UUD 1945, TAP MPR No VI, dan No VII Tahun 2000, UU Kepolisian RI (UU No 2/2002)—sesungguhnya tidak mengharuskan Kapolri diganti karena alasan telah memasuki usia pensiun.
Justru hukum mengatur bahwa satu-satunya alasan Kapolri (petahana) berhenti dari jabatannya karena diberhentikan Presiden atas persetujuan DPR eks Pasal 11 Ayat (1) UU Kepolisian RI. Kapolri (petahana) tidak boleh berhenti karena alasan mengundurkan diri.
UU Kepolisian RI tidak pula mengharuskan bahwa Kapolri harus dijabat oleh jenderal aktif.UU Kepolisian RI juga tidak mengatur masa jabatan Kapolri secara pasti (fixed term).
Karena itu, konstitusi memberi wewenang prerogatif kepada Presiden untuk memberhentikan atau mempertahankan Kapolri (petahana) sesuai kebutuhan obyektif dan subyektif Presiden selaku atasan Kapolri.
Pengisian jabatan Kapolri
Secara konstitusional, Presiden memiliki dua opsi untuk mengisi jabatan Kapolri,yaitu mengangkat personel baru atau tetap mempertahankan Kapolri (petahana) dengan komplementari memperpanjang masa dinas aktifnya melebihi usia 58 tahun.
Kendati hal tersebut sebetulnya menurut hukum tidak diperlukan. Sebab, sejatinya UU Kepolisian RI tidak mengatur bahwa Kapolri harus anggota kepolisian aktif.
Yang harus berstatus anggota kepolisian aktif sebagaimana maksud Pasal 11 Ayat (6) UU Kepolisian RI adalah calon Kapolri yang hendak diangkat Presiden dengan persetujuan DPR.
Menurut UUD 1945, opsi Presiden mengangkat personel baru Kapolri atau tetap mempertahankan Kapolri (petahana) memiliki validitas keabsahan hukum yang setara.
Faktor penentunyaadalah, pertama, kebutuhan obyektif dan subyektif Presiden sebagai pengguna personel Kapolri dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan sebagai pelaksanaan Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945.
Kedua, proses pengisian jabatan Kapolri harus sesuai aturan hukum yang berlaku.
Secara obyektif tentunya Presidenmembutuhkan figur Kapolri yang profesional, yaitu figur yang memiliki keterampilan teknis kepolisian, memiliki kapasitas dan kualitas kepemimpinan mumpuni yang mampu menggerakkan potensi lembaga untuk mencapai tujuannya, serta siap mendedikasikan pengabdian tanpa kenal waktu.