JAKARTA, KOMPAS.com — Rumitnya birokrasi penanganan perkara di Mahkamah Agung dinilai menjadi celah untuk melakukan korupsi.
Oleh karena itu, MA diminta melakukan penyederhanaan penanganan perkara, salah satunya dengan memangkas alur birokrasi.
"Ada tiga birokrasi besar di MA, yaitu Pranata dan Tata Laksana Tata Usaha, Badan Urusan Administrasi, dan Panitera. Padahal, urusan perkara seharusnya hanya melibatkan panitera," ujar Koordinator Bantuan Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Julius Ibrani dalam diskusi Iluni FH UI di Jakarta, Selasa (31/5/2016).
Menurut Julius, terdapat 27 tahap dalam penanganan perkara di MA.
Berbagai tahapan dari mulai pendaftaran, proses persidangan, minutasi, hingga pengumuman putusan memakan waktu lama.
Lambatnya penanganan perkara tersebut dinilainya dapat dimanfaatkan pegawai MA untuk mendapat keuntungan dari pihak yang beperkara. Misalnya, untuk mempercepat tahapan atau memberikan informasi seputar penanganan perkara.
"Soal minutasi putusan, surat edaran MA pernah membatasi waktu pengetikan selama enam bulan, tapi ternyata memakan waktu enam sampai 12 bulan," kata Julius.
Ia mengatakan, seharusnya ada penyederhanaan alur manajemen perkara. Misalnya, cukup melibatkan panitera.
Kemudian, mengubah format putusan MA yang selama ini terdiri dari jumlah halaman yang tebal.
MA cukup menerbitkan pertimbangan dan putusan yang hanya membutuhkan sekitar lima halaman.
Selain itu, MA dapat memanfaatkan penggunaan teknologi informasi dalam mengumumkan alur penanganan perkara hingga pengumuman putusan.
"Bisa menggunakan sistem berbasis teknologi informasi yang real time. Bukan hanya nomor register, tapi nama majelis hingga putusan," kata Julius.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.