JAKARTA, KOMPAS.com- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pernah memberikan data transaksi keuangan mencurigakan atas nama istri dari Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi kepada Kejaksaan Agung. Namun, hingga kini belum diketahui tindak lanjut dari laporan tersebut.
"Kami pernah temukan rekening atas nama istrinya, sudah kami kirim ke Kejaksaan pada 2010," ujar Ketua PPATK M Yusuf saat ditemui di Gedung Lemhanas, Jakarta, Sabtu (28/5/2016).
Menurut Yusuf, PPATK belum mendapat laporan terkait penyerahan data transaksi keuangan tersebut. Ia juga tidak bisa memastikan apakah ada tindak pidana yang diketahui lewat data transaksi itu.
"Nah, progresnya itu kami belum pernah terima dari Kejaksaan," kata Yusuf.
Yusuf mengatakan, beberapa waktu lalu giliran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta data transaksi keuangan Nurhadi. Permintaan tersebut dilakukan setelah KPK menangkap tangan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Nurhadi juga diduga mengetahui perkara suap yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia pun telah dicegah agar tidak bepergian ke luar negeri.
Kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan KPK terhadap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dan pihak swasta bernama Doddy Ariyanto Supeno. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka selaku pemberi dan penerima suap.
Uang sebesar Rp50 juta yang disita dalam operasi tangkap tangan tersebut diduga terkait pengajuan peninjauan kembali (PK), dua perusahaan swasta yang sedang berperkara di PN Jakarta Pusat.
Dalam kasus ini, KPK juga telah menyita uang sebesar Rp1,7 miliar di kediaman milik Nurhadi di Jalan Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta. Uang dalam jumlah tersebut ditemukan dalam berbagai pecahan mata uang asing. KPK menduga uang tersebut terkait dengan perkara hukum yang sedang ditelusuri di PN Jakpus.