JAKARTA, KOMPAS.com - Istilah "mafia peradilan" kerap muncul saat terungkap kasus korupsi atau fenomena jual-beli perkara di institusi peradilan.
Namun, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Teuku Nasrullah menilai bahwa mafia peradilan harusnya digunakan untuk menyebut fenomena korupsi yang mengakar, terstruktur, dan masif.
Nasrullah mengimbau agar kata "mafia peradilan" tak sembarangan dipergunakan. Sebab, kata "mafia" mengesankan seolah-olah kejahatan di badan peradilan sudah terorganisasi sedemikian rupa dan ada organisasi khusus.
"Seolah ada organisasinya. Padahal tidak ada sebuah organisasi," kata Nasrullah saat dihubungi Kompas.com, Rabu (25/5/2016).
Nasrullah kemudian juga mempermasalahkan istilah "budaya" yang sering menempel pada kata "korupsi", "kolusi", atau nepotisme".
Menurut dia, masyarakat awam boleh saja salah menyebut istilah. Namun, bagi akademisi idealnya kata tersebut tak digunakan karena bisa menimbulkan salah persepsi.
Budaya, lanjut dia, adalah suatu perbuatan yang sudah mendarah daging kemudian diterima sebagai sesuatu yang baik.
"Apakah Indonesia menerima korupsi sebagai sesuatu yang baik? Tidak, kan?" ucapnya.
Ia pun meminta agar semua pihak berhati-hati dalam menggunakan istilah. Jangan sampai istilah yang digunakan salah konteks dan meracuni pikiran rakyat dengan sesuatu yang tidak tepat.
"Meskipun soal korupsi merajalela, iya. Tapi tidak boleh menggunakan istilah-istilah yang keliru, termasuk mafia peradilan," ujar Nasrullah.