Beberapa kampus mulai turun ke jalan, antara lain kampus IKIP (sekarang Universitas Negeri Jakarta) di Rawamangun, Mercubuana, UKI, UI, dan Atma Jaya Jakarta. Mereka mulai menggelar aksi demonstrasi di depan kampus.
Namun, setiap kali turun ke jalan, mahasiswa mengalami tindakan represif dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Lengkap dengan pasukan pemukulnya, Pasukan Anti Huru Hara (PHH).
"Baru melakukan aksi di luar pagar kampus pasti dipukul mundur, masuk ke dalam kampus," kata Masinton.
Aksi demonstrasi tersebut terus mengalami eskalasi hingga tahun 1998 karena terus direpresi oleh ABRI. Represi itu pun ditentang oleh masyarakat.
Masyarakat mulai merasa suara mereka terwakili oleh mahasiswa. Tuntutan yang diusung oleh mahasiswa saat itu memang juga menjadi tuntutan rakyat di akar rumput, yaitu turunkan harga BBM dan harga sembako.
Aksi mahasiswa mulai terakumulasi secara massif pada Mei 1998. Banyak kampus mulai bergerak turun ke jalan.
Kemarahan mahasiswa semakin menjadi ketika terjadi penembakan 4 mahasiswa Universitas Trisakti oleh aparat keamanan pada tanggal 12 Mei 1998.
Saat itu mahasiswa melakukan demonstrasi dari depan kampus Trisakti menuju gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/MPR). Namun, aksi mereka dihadang oleh blokade dari Polri dan militer.
Mereka mulai menembakkan peluru dan gas air mata ke arah mahasiswa untuk membubarkan demonstrasi.
Mereka yang tewas dalam adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie. Peristiwa itu dikenal dengan Tragedi Trisakti.
Selang satu hari setelah Tragedi Trisakti, terjadi kerusuhan dan penjarahan di beberapa deerah di Jakarta. Situasi semakin mencekam.
Kedua momentum itu, kata Masinton, yang menjadi pemicu para mahasiswa untuk turun ke jalan melakukan demonstrasi secara massif.
Beberapa hari setelah itu, tepatnya tanggal 18 Mei 1998, ratusan ribu mahasiswa mulai turun ke jalan. Mereka memutuskan untuk mengarahkan pergerakan massa demonstrasi ke gedung DPR/MPR.
"Pasca peristiwa penembakan empat mahasiswa Trisakti itu menjadi momentumnya. Penembakan itu diikuti dengan aksi kerusuhan dan penjarahan," tutur Masinton.
"Mahasiswa Se-Jabodetabek menjadi pelopor dalam menduduki gedung DPR. Beberapa hari sebelum 21 Mei 1998," kata dia.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.